Senin, 22 Februari 2010

Empu Ageng di Ruang Sempit
oleh Kuss Indarto


Jim Supangkat, Yani Saptohudojo, Empu Ageng Edhi Sunarso, dan Oei Hong Djien juga Anusapati (belakang kanan) tampak menyambangi satu persatu karya dalam pameran Retrospektif, Kamis sore, 14 Januari 2010. (foto: kuss)


Sekitar 32 karya patung terasa berjejal di ruang utama itu. Belum lagi ada beberapa lukisan, maket dari beberapa monument penting, juga foto-foto dokumentasi. Tetamu yang berserak di sekujur ruang memberi penekanan pada keriuhan perhelatan itu. Edhi Sunarso, Sang Empu Ageng itu, senantiasa menebar senyum lebar, sesekali tergelak, mengiringi tetamu yang menyimak karya-karyanya di Jogja Gallery, Kamis sore, 14 Januari 2010.

Pembukaan pameran tunggal Retrospektif itu tak terlalu riuh memang. Namun kehadiran beberapa sosok penting di jagad seni rupa menjadikan sore itu terasa penuh warna. Ada kurator Jim Supangkat, Asikin Hasan, kolektor Oei Hong Djien, juga Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Soeprapto Soedjono. Di kerumun itu muncul pula Djoko Pekik, Anusapati, Yani Saptohudojo, M. Dwi Marianto, dan sekian banyak nama lain.

Memang, pameran ini terasa istimewa. Paginya, sekitar pukul 10.00 WIB, Edhi menerima penganugerahan Empu Ageng dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Saking bahagianya, kakek yang nampak masih sangat sehat itu ambruk, pingsan, karena atmosfir emosi yang tak terperi. Dan sore itu merupakan pameran tunggalnya yang pertama di Indonesia. Sepanjang karirnya selama ini, pematung legendaris ini baru 2 kali berpameran tungal, itu pun dilakukannya di India tahun 1956 dan 1957. Sebuah rentang waktu sekaligus realitas yang ironis untuk satu tonggak penting seni patung di Indonesia sekaliber Edhi Sunarso. Puluhan tahun terakhir, memang, nama Edhi lebih berdenyar di telinga sebagai pematung spesialis monumen. Bahkan, menurut salah satu reporter televisi yang meliput perhelatan ini, Edhi dikiranya telah lama berpulang. Mungkin saking legendarisnya nama ini ketika dipertautkan dengan karya-karyanya yang penting dan ikonik yang menempel di banyak monumen di Jakarta dan kota lain.

Karya-karya yang tergelar dalam Retrospektif ini sebagai besar merupakan karya ekspresi personalnya, yang jauh dari tendensi proyek seperti halnya karya-karya monumen. Ada keleluasaan ekspresi yang terpancar yang kemudian menciptakan keberjarakan yang cukup memadai ketimbang karya-karyanya yang banyak terpacak ruang publik. Terlihat pula perjalanan kreatif yang bisa terlacak dan terwakili dari puluhan karya ini. Dan pada dimensi lain, nampak pula ketangguhannya sebagai seniman yang mampu bergulat untuk menaklukan berbagai material. Besi, perunggu, kayu sonokeling (dalbergialatifolia Roxb.), dan lainnya, telah karib dengan proses kreatif Edhi hingga semuanya dituntaskan dengan relatif mendekati sempurna. Nyaris semuanya dikerjakan sendiri, bukan dengan bantuan tukang atau artisan.

Misalnya karya Wajah Terbelenggu (101x32x30 cm) yang dikreasinya tahun 2003, saat ayah mantan pembalap nasional Satya Sunarso ini berusia 72 tahun lebih. Patung berbahan utama kayu sonokeling ini dikerjakan sendiri mulai dari awal hingga finishing untuk semua detil dan penghalusannya. Tentu ini sebuah ‘gelagat’ unik yang bisa ditarik sebagai sebuah tauladan bagi banyak seniman masa kini yang telah banyak bergantung kemampuan teknisnya pada pihak lain. Dalam jeda pendek di sela hujan setelah acara pembukaan usai, pematung ini berkisah bahwa dia hanya memerlukan bantuan tukang ketika dia akan mengelas material logam. Itupun dilakukan dengan ‘terpaksa’ di usia senja kini karena kemampuan penglihatannya yang mulai berkurang. Di luar itu, apalagi ‘cuma’ menaklukkan kayu sonokeling satu meter kubik, bisa dilakukannya sendiri.

Dalam persoalan lain, kolektor Oei Hong Djien (OHD), di sela-sela dia menyambangi satu persatu karya, juga memuji hal khusus yang menjadi ‘ciri’ Edhi Sunarso. Menurut OHD, termasuk ‘pelit’ melepas karya-karyanya kepada pencinta seni seperti dirinya. Dia mengaku sangat berminat untuk mengoleksi karya patung kayu bertajuk Pertemuan dalam Kekosongan (97x22x17 cm) yang dibuat tahun 1959. Patung kayu sonokeling itu masih ‘disayang-sayang’ oleh Edhi untuk tidak dilepaskan. Hingga bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya, OHD pernah ditelepon Edhi bahwa patung tersebut akan dibuat ulang dalam versi gigantik, 3 meter dengan material perunggu. OHD setuju, dan sekarang tengah menunggu realisasi karya itu.

Hal istimewa lain yang dirasakan oleh OHD adalah bahwa seniman ini jarang mengumbar untuk menduplikasi sebanyak mungkin karya-karyanya meski diminati oleh publik. Ini menjadikan karya-karyanya sangat ekslusif di mata kolektor atau pencinta seni. OHD bahkan membandingkan perihal ini dengan seniman patung lain yang terlalu ‘royal’ (mudah) untuk memperbanyak karyanya sesuai kebutuhan kolektor yang meminati. Baginya, ini akan mereduksi aspek ekslusivitas karya. Sebagai kolektor, tentu OHD atau kolektor lain ingin agar karya koleksinya istimewa karena tidak dimiliki juga oleh kolektor lain. Dan Edhi sedkit banyak mampu memenuhi ekspektasi sejenis itu.

Secara umum, pameran Retrospekstif ini tentu istimewa bagi sosok Edhi Sunarso yang pundaknya kini tersemat gelar Empu Ageng. Namun, kalau menimbang nama besar sebagai pematung legendaries Indonesia, pameran ini tampak begitu mungil, tergesa-gesa dan terasa sekali persiapannya yang minimal. Display karya nampak penuh silang-sengkarut karena kapasitas ruang yang terbatas disbanding karya yang terlalu banyak. Juga, perjalanan karya yang berawal dari realisme, formalism hingga yang berkecederungan abstraktif terasa membuat pengunjung terengah-engah untuk menikmatinya. Karya-karya pentingnya di ruang publik tidak cukup terepresentasikan dengan baik lewat miniature atau maket dan foto-foto pendukungnya.

Publik bolehlah secara ekstrem membandingkan dengan pameran 50 Tahun Agus Suwage beberapa bulan lalu di tiga lantai di gedung Jogja National Museum. Semuanya, waktu itu, tergarap dengan rinci pendisplaiannya, hingga pengunjung berasa lega menikmatinya. Sayang memang, nama besar Edhi Sunarso ‘hanya’ digelar di ruang yang cukup sempit di Jogja Gallery.

Ah, semoga engkau tetap besar, Empu Ageng Edhi!

*) Redaksi Indonesia Art News


Tidak ada komentar: