Estetika dan Pasar Para Udik
oleh Satmoko Budi Santoso
DARI udik, Komunitas Air Gunung (KAG) Wonosobo Jawa Tengah, menantang publik seni rupa Yogya. Dikomandani Agus Wuryanto, bertempat di Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta pada 21 November hingga 5 Desember 2009, sejumlah perupa pamer karya. Dikawal kurator Wicaksono Adi, penyumbang istilah mbentoyong maupun kolekdol dalam khazanah estetika seni rupa Indonesia yang pernah bernilai kontroversial itu, KAG tampil yakin diri. Ditambah lagi dengan dibuka oleh kolektor Syakieb Sungkar maka bisa diduga sejak awal, pameran kali ini memuat sejumlah pertaruhan.
Memang benar, sejumlah pertaruhan itu segera menyita perhatian. Ada tiga kategori visual yang cukup bisa disimpulkan dari pameran KAG. Pertama, obsesi memvisualisasikan tema berupa subjek orang atau tokoh tertentu, kedua adalah visualisasi alam benda, dan ketiga visualisasi alam tumbuhan. Berbasis tiga obsesi visual terbesar tersebut sejumlah nama yang tergolong perupa muda mencoba menunjukkan taring kompetisi dengan publik seni rupa secara lebih luas. Simak saja nama-nama seperti Agus Handoko, Ahmad Ghovir, Ajie Dharma, Anton Hadiyono, Arianto, Awi Ibanezta, Darush Marchiano, Dudi Harmand, Irawan Banuaji, Iton MT, Jati ?Wegig? Munandar, Lukman Riadus Sholikhin, Nur Rochim, Romadhon, Sugeng Pribadi, Tunarno, dan Wuryantoro.
Secara objektif, siapakah yang kenal mereka? Bukankah mereka masih tergolong muda, baik dalam pengertian usia maupun prestasi capaian estetika dan pasarnya? Namun, buru-buru harus segera disadari, bahwa cara memandang eksistensi mereka bukanlah lewat jalan seperti itu. Ada yang lebih penting ditonjolkan yakni pada pertaruhan estetika karyanya sendiri. Meskipun subjek tema perihal visualisasi sosok atau orang tertentu, alam benda, dan alam tumbuhan bukanlah hal baru dalam khazanah estetika seni rupa Indonesia, namun soal pendekatan teknik dan kecerdikan visual bolehlah berbeda.
Hal itu terjadi pada Ahmad Ghovir, misalnya, pada karyanya yang bertajuk Portrait of Zhang Ziyi (Oil on Canvas, 130 cm x 180 cm, 2009) dan Gates on Grass (Oil on Canvas, 200 cm x 150 cm, 2009). Sesosok tubuh dan wajah kedua orang tersebut dibalut anyaman gambar rumput dengan bentuk dasar wajah asli yang tetap sebagaimana bawaan orang yang bersangkutan. Pendekatan visual semacam ini merupakan bentuk sensasi tersendiri. Wajah asli menjadi bagaikan berbentuk atas timbunan kolase rumput. Teknik dan kecerdikan visual sejenis digunakan Romadhon dalam karyanya yang bertajuk Palestine (Oil on Canvas, 195 cm x 140 cm, 2009) dan Tersudut (Oil on Canvas, 140 cm x 185 cm, 2009). Bedanya adalah pada bentuk visual kolase gambar yang menimbuni wajah dan kepala seseorang dengan identifikasi batu-batu berwarna-warni tertentu.
Rupanya, strategi visual semacam itu dikerangkai oleh Wicaksono Adi sebagai komitmen gagasan yang bersifat representasional, yakni suatu konsep gagasan yang merupakan representasi bentuk tertentu. Dalam bahasa Wicaksono Adi pula, hal itu menjadi bernilai bagaikan simpul intensi yang mengawetkan ingatan. Secara objektif penikmat seni digiring dalam ingatan bentuk visual mengenai seseorang yang merupakan bagian dari memori mereka sendiri, entah hal itu berkaitan dengan tokoh tertentu seperti Bill Gates, Dalai Lama, Rowan Atkinson alias Mr Bean, Michael Jackson, Marylin Monroe, Lady Diana, dan yang lain. Dalam banyak karya, representasi mengenai tokoh orang tersebut menjelma dalam sejumlah strategi visual: sosok Marylin Monroe yang apa adanya, tanpa kemasan pendekatan kolase bentuk gambar tertentu pada karya Tunarno yang bertajuk Portrait of Marylin (140 cm x 125 cm, Pointilis with Oil on Canvas, 2009), sosok Lady Diana dengan wajah bertimpuk kolase petir pada karya Iton MT bertajuk Remembering Lady Diana, (116 cm x 140 cm, Oil on Canvas, 2009), sosok Michael Jackson dalam posisi apa adanya di dalam sebuah lingkaran kaleng kaca pada karya Wuryantoro bertajuk RIP (140 cm x 180 cm, Oil on Canvas, 2009), sosok boneka anak-anak pada karya Lukman Riadus Sholikhin yang bertajuk Spirit Kinara #2 (115 cm x 145 cm, Oil on Canvas, 2009), sosok apa adanya Rowan Atkinson atau Mr Bean dalam karya Irawan Banuaji yang bertajuk What Happen? (195 cm x 125 cm, Oil on Canvas, 2009), dan lainnya lagi.
Mayoritas tema yang merujuk pada ikon tokoh tertentu tersebut, secara pasar sebenarnya mudah ditebak arahnya. Salah satunya adalah memudahkan jalan nasib karya itu sendiri ketika berhadapan dengan alternatif sosok sejumlah kolektor. Bisa diduga, sosok-sosok kolektor adalah sosok-sosok orang yang amat apresiatif terhadap berbagai hal termasuk terhadap keberadaan sosok orang atau tokoh tertentu. Bahkan di antara para kolektor tersebut niscaya adalah tipe orang yang telanjur fanatik dengan tokoh tertentu yang kebetulan menjadi objek visual. Jadilah ketemu antara selera pasar dan capaian estetika karya. Tentu, hal itu normal saja. Bahkan sampai pada kenyataan bahwa sejumlah karya bisa laku di atas bandrol yang ditetapkan, hal itu tetap wajar-wajar saja. Memang, dalam beberapa sisi cibiran bisa saja datang: kenapa perupa A yang kualitas tekniknya biasa menjadi terjual mahal, dan seterusnya. Namun, dalam konstelasi hukum pasar yang sebenarnya lebih banyak dikondisikan oleh pencitraan atas karya itu sendiri, apakah pertanyaan di atas masih relevan diajukan? Apakah jenis pertanyaan di atas tidak mempercayai bahwa hukum pasar mempunyai arah pilihannya sendiri yang seringkali nirlogika?
Sejauh ini, Agus Wuryanto selaku komandan KAG telah memberikan pondasi kesadaran yang laten bahwa melukis adalah sebuah profesi. Ia bisa saja bernilai biasa-biasa saja, dan barulah bernilai istimewa ketika profesi tersebut dapat memberikan ruang akses yang positif bagi masyarakat secara konkret. Soal harga yang mengejutkan, suatu saat melambung tak terduga, bagi Agus Wuryanto hal itu merupakan bagian dari konsekuensi lumrah sebuah proses berkarya. Kebetulan secara internal di dalam tubuh KAG memang sedang terjadi perombakan manajemen betapa senioritas berkarya, tingkat pendidikan, dan hal lain yang berkaitan dengan pertimbangan non-estetika sudah dibabat habis. Jadinya, manajemen internal yang diterapkan KAG dalam koridor kuratorial pun benar-benar kembali pada pertaruhan karya itu sendiri, bagaimana capaian kualitas estetikanya. Jika kebetulan karya si senior pas jeblok dan tidak lolos kuratorial haruslah menerima dengan lapang dada. Tidak perlu ada alasan tidak enak dan sejenisnya. Hal itu betul-betul terkondisi, mengingat dalam tubuh KAG cukup beragam latar belakang sosial-ekonominya. Dengan begitu bagi yang berlatar belakang otodidak sebagai pengamen pun punya kesempatan berkiprah yang sama dan tetap diakomodasi.
Memang, para udik secara geografis bukan secara estetika karya itu bakalan tetap terus merayap menembus segala kemungkinan. Boleh jadi, capaian mereka kali ini barulah segelintir hasil dari total capaian estetika yang menjelang di hari depan. Oleh sebab itu, kita tak perlu menutup mata, bahwa di tangan mereka semuanyalah dinamika pertaruhan eksistensi seni rupa Indonesia tetap mempunyai harapan yang mencerahkan secara apa pun.
*) Penulis adalah pemerhati seni rupa. Tinggal di Yogyakarta.
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar