Jumat, 05 Februari 2010

Rupa Petani dalam Refleksi Iwan
oleh Bambang K. Prihandono


Tema-tema dunia seni rupa, jika direntang dalam lintasan historis, menunjukkan variasi yang senantiasa gayut dengan konteks sejarah sosial. Tatkala globalisasi menyerbu berbagai belahan bumi, kultur urban pun bertumbuh serta mempengaruhi dunia seni rupa. Di tengah gempuran kultur global itu, tiba-tiba Iwan Wijono, seniman yang sebelumnya banyak bergelut dengan urban performance, berbelok mengusung tema petani, yang agraris atau yang ndeso. Bertempat di Tembi Contemporary Bantul, Yogyakarta (1-28 September 2009), pameran Wijono menyodok ulu hati kita, yang sedang terlelap dalam buaian dunia hidup urban, serta tak menyadari bahwa ternyata perut masih diisi oleh hasil kerja keras dan tetes keringat para petani.

Tema tentang petani sesungguhnya bukan hal baru di khasanah seni rupa. Sudjojono, sang bapak seni rupa modern, pernah melontarkan pernyataan di tahun 1937 saat PERSAGI didirikan, bahwa pelukis baru mestilah menengok para buruh pabrik dan petani yang kurus kerempeng, pemuda miskin, sandal-sandal dan pantalon jalanan (Miklouho-Maklai 1998:10-11).

Mungkin, Wijono tak mendengar seruan Soedjojono, namun pengalaman saat menjadi aktivis terus menggelitik simpul syarafnya untuk menatap petani sebagai sumber inspirasi kreativitas dan perjuangan. Tetapi, tatkala kaum tani yang selalu termarginalkan dari dunia ekonomi, sosial dan politik diambil dan direpresentasikan dalam kanvas, persoalan pun menjadi rumit. Petani, tak hanya kaum yang punya beban persoalan hidup, namun dunia kelam itu mesti bertubrukan dengan problem estetika, sang seniman dan sang penikmat.

Dus, membaca pameran Wijono, paling tidak, mempertimbangkan bahwa seni merupakan apresiasi keindahan yang mencipta kesenangan mendengar, pikiran dan mata seperti digagaskan Bourdieu (1987). Namun, toh seni itu juga tercipta karena proses kreativitas, eksplorasi individual dan perkembangan sang seniman, termasuk emosi perhatian dan keprihatinannya. Ujungnya, Karl Mannheim pun menyimpulkan bahwa seni adalah weltanschauung, suatu pandangan dunia. Melalui karya seni, dunia akan jernih dilihat atau direpresentasikan.

Menginterpretasikan pameran Wijono yang bertema ?The Farmer Series?, dengan demikian, kita memerlukan jejak pembacaan sejak proses eksplorasi kreativ Wijono sampai pada makna semiotik sebuah karya.

Proses Kreatif

Setelah lama bergelut intens dengan urban performance art, untuk pertama kali Iwan Wijono menggarap dunia lukis. Tentang petani pula. Namun, sebenarnya tema petani tidak hal baru baginya, sebab sejak tahun 1990-an Wijono telah intens bergaul dengan kaum tani, baik sebagai aktivis maupun perupa. Ia datang ke komunitas petani, seperti di Sragen atau Nusa Tenggara, berdialog dengan mereka, memotret dan pada akhirnya merefleksikan.

Di sini, potret menjadi bagian penting dari proses pemindahan dari dunia realitas menuju jagad representasi di atas kanvas. Dengan kata lain, Wijono memindahkan potret realitas kedalam kanvas. Namun, berbeda dengan perupa lain semisal Dede Eri Supria yang menyorotkan potret ke kanvas, dan ia mengguratkan aneka teknik untuk menyempurnakan gambar, Wijono tetap memakai metode ?lama?. Ia memandang realitas dalam potret, lalu menuangkan refleksi itu sambil memberi karakter tokoh petani. Jadilah karya Wijono ini semacam realisme plus. Peniruan realitas sosial yang detil, namun telah berkembang bersama dengan refleksi sang seniman.

Peran perupa, dengan demikian, bukanlah sebagai seorang jenius, tapi lebih sebagai komunikator hati nurani, penyambung suara yang bisu. Nah, pada titik inilah kita melihat realisme lukisan bersitegang antara realitas penderitaan kaum tani serta daya empati dan advokasi dari Wijono. Lalu, apa yang disebut kesenian pun hadir tatkala penonton berpartisipasi menikmati ketegangan itu. Sebuah dialog yang terus menerus, suatu proses ethnografi reflektif. Demikianlah, tatkala kita melihat lukisan berjudul ?Mulut & Kerja Kerasku Setajam Arit dan Pikiranku,? kita diberi sensasi pemberontakan, kegarangan dan juga kegetiran yang datang sekaligus.

Namun, berdialog dengan lukisan Wijono kadang kita merasa mampat. Penyebabnya, sosok petani yang ditampilkan di atas kanvas seringkali datar dan tak memberikan ruang resepsi estetik (rezeptionsaesthetik) bagi penonton. Penikmat mengalami kekosongan imaji, dan tak mampu mengisi celah resepsi dari sebuah karya. Maka, sosok-sosok yang berjejer, baik dalam kelompok atau individu, seringkali terlihat monoton dan kehampaan pesan.

(Seni) Rupa Perlawanan

Pesan yang hambar itu, mungkin bersumber pada realitas sosial atau juga proses kreatif Wijono sendiri. Realitas sosial menunjuk pada konteks kapitalisasi dan komersialisasi dunia pertanian yang tak hanya mengubah moda produksi, namun juga menohok nasib kaum tani. Dampak sistemiknya sangat kentara, sistem kolektivitas dunia sosial petani pun mesti hancur, untuk digantikan oleh individual. Proses pergeseran itu tampil dalam lukisan-lukisan Wijono yang bergerak dari kolektivitas yang gamang dan individual yang menguat, seperti direpresentasikan pada lukisan-lukisannya berjudul ?Himne Petani? sampai ?Taring Padi?.

Terhadap gempuran kapitalisme itu, petani bukanlah kaum yang ?pasrah bongkokan?. Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya pun telah menunjukkan perlawanan petani abad 19-20 terhadap kekuasaan kolonial yang menindas. Hanya kini, tatkala dunia telah dilipat oleh kekuatan kapital dan negara tunduk pada mekanisme pasar, menjadi kaum tani yang melawan tidaklah gampang. Kekuasaan telah menjadi demikian rumit, sedang kaum tani terpilah-pilah menjadi individualis. Petani seringkali hanya melakukan perlawanan secara pasif seperti digagaskan oleh James Scott.

Tak mau terjebak pada kepasrahan nasib, realitas kegalauan petani itu ditafsir oleh Wijono dengan menegasikan dan menampilkan sosok-sosok petani yang menyorot tajam ke depan. Petani berdiri dengan menatap dan menantang siapa saja yang duduk di hadapannya. Penggarapan ini, tampaknya sengaja diambil untuk menunjukkan bahwa petani adalah sosok pemberani yang tak kenal takut terhadap siapapun.

Rupa (petani) yang mencorong seolah ingin menegaskan bentuk komunikasi dengan pihak luar atau kelas menengah perkotaan yang selama ini mengabaikannya. Namun, ketika itu ditampilkan, sesungguhnya pula, menganga celah kelemahan karya lukis Wijono. Wajah-wajah kaku, tegang dan menantang justru menyangkal kekuatan petani sesungguhnya, yaitu kerja. Akibatnya, dinamika keseharian yang menjadi nafas perlawanan petani tak tertangkap atau terepresentasikan dalam kanvas.

Penyingkiran kerja dari dunia perlawanan petani, sesungguhnya pula, Wijono mengabaikan dimensi waktu dan ruang. Dalam artian ini, sosok kaum tani yang tersingkir sejak berabad-abad lampau tak terkenali. Jika diajukan pertanyaan, apa yang membedakan dunia sosial (perlawanan) kaum tani Indonesia kini dan masa lampau? Sulit dan ini tampaknya susah ditemukan dalam karya-karya lukis Wijono.

Akhirnya, lepas dari catatan kritik atas pameran Iwan Wijono, kita patut memberikan apresiasi atas pilihan tema tentang subjek petani. Pamerannya menghadirkan nuansa perlawanan, tidak hanya atas kecenderungan dunia seni rupa kontemporer, namun juga atas proses pemarginalan kaum tani dalam perubahan sosial di Indonesia. Kita pun menunggu karya-karya Wijono yang bersumber dan bernafas kaum tersingkir lainnya.


*) Penulis, mengajar pada Program Studi Sosiologi Bisnis dan Media, Universitas Atma Jaya Yogyakarta




sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: