Jumat, 05 Februari 2010

Mengalami Seni di Museum-museum Seni Eropa
oleh Farabi Fakih


Wajah luar Museum De Lakenhal, Belanda. (foto: situs resmi museum Da Lakenhal)

Sebagai seorang mahasiswa di Belanda, terbuka kesempatan bagi saya untuk mengalami kehidupan kesenian Eropa. Seperti di Indonesia, konsumsi kesenian di sini dialami lewat serangkaian protokol kebudayaan bernama museum. Dalam tulisan ini saya ingin berbicara sedikit mengenai pengalamanku, sebagai orang yang awam terhadap dunia kesenian secara umum, berinteraksi dengan dunia ini di Eropa. Leiden, kota berpenduduk seratus ribu orang di tengah salah satu konurbasi terbesar benua ini, adalah lumbung lahir terkenal beberapa seniman paling berpengaruh dalam sejarah kesenian. Seniman paling sohor Belanda, Rembrandt van Rijn adalah putra daerah Leiden dan pahlawan kebudayaan pada jaman keemasan Belanda, sebuah periode yang masih hidup dalam ingatan orang Belanda dan memiliki posisi sentral dalam mitos kemunculan kebangsaannya. Universitas Leiden juga memiliki departemen sejarah kesenian yang serius dan prestisius dan kota ini memiliki salah satu museum seni yang terkenal dengan koleksi lukisan yang bagus dan langka, museum Lakenhal.



Sejujurnya, pengalamanku dengan dunia kesenian di Indonesia hanya sebatas beberapa kunjungan singkat dan tak bermakna di beberapa museum ataupun pekan seni di Yogyakarta. Museum Affandi, sebagai contoh, pernah kukujungi secara singkat sewaktu SMA. Selain bingung atas definisi estetika yang tercantum dalam lukisan-lukisannya, perasaan paling menggugah terdapat ketika mengamati gedung Affandi yang aneh. Mungkin alasannya hanyalah kebutaan dan kebodohanku menghadapi kerumitan dunia seni yang sering tampak tak tertembus. Yang paling menarik dari pengalaman-pengalamanku mengunjungi museum-museum seni utama Eropa, seperti Rijksmuseum di Amsterdam, Louvre atau Pompidou Centre di Paris ataupun museum seni Praha adalah betapa bermaknanya pengalamanku ketika melewati lukisan-lukisan karya berbagai macam abad di lorong-lorong museum Eropa dibandingkan dengan museum-museum seni di Indonesia. Itu membuatku berfikir mengenai alasan-alasan yang mungkin menjadi penentu bagi perbedaan pemaknaan itu. Tulisan ini tidak berani sombong mengklaim keilmiahan apapun, melainkan hanyalah secercah insight yang didapatkan sebagai hasil perbandingan pengalaman yang, pada akhirnya tentunya, bersifat sangat pribadi.



Museum adalah Gedung, tapi Gedung Bagian dari Pengalaman



Memasuki sebuah museum di Eropa merupakan sebuah pengalaman yang sifatnya spasial atau, mungkin, environmental. Museum tampaknya bukan hanya sebuah dos untuk menyimpan kesenian yang berharga yang ada didalamnya, melainkan memainkan peranan sama pentingnya dalam menciptakan perasaan pengalaman seni itu sendiri. Di sini anda akan menjumpai arsitektur yang menyesuaikan diri dengan tema utama yang diusung oleh seni yang terdapat di dalamnya. Ia menjadi bagian dari representasi keseluruhan kesenian itu sendiri. Bangunan Rijksmuseum, yang banyak menampilkan koleksi terbaik karya-karya seni jaman keemasan Belanda, menampilkan arsitektur Victorian yang anggun sekaligus angker, seolah menyampaikan pesan isinya jauh sebelum kita masuk kedalam gedung itu sendiri. Sementara itu bangunan gaya modernis museum van Gogh, yang berdampingan dengan Rijskmuseum di Amstelplein, seakan ingin mengatakan akan kesubversifan lukisan-lukisannya yang berani menantang definisi estetika klasik.



Seperti gereja atau mal, museum menjadi protokol naratif yang menawarkan pengalaman diri yang sifatnya sangat pribadi. Pengalaman relijius-nya gereja ataupun gaul-nya mal direplikasi disini dalam sebuah pengalaman yang sifatnya agak angkuh; sebuah rasa ekslusif akan kebenaran estetis yang tidak dimiliki semua orang. Saya merasa lebih dari orang lain, karena saya sudah mengalami sebuah museum sehingga kepekaan estetis saya tentu, seharusnya, jauh lebih dari orang biasa. Oleh karenanya gedung-gedung menjadi amat penting bagi dunia kesenian, ia-pun harus merupakan bagian dari hasil karya seni. Mengingat betapa kurangnya aspek ini di museum-museum seni Indonesia, seni tampaknya merupakan sesuatu yang dapat diusung dengan lebih sempurna dalam masyarakat yang punya kelebihan dana. Di Eropa, selain karitas orang-orang kaya, pemerintah menjadi penopang yang sangat penting bagi terciptanya protokol ini. Museum merupakan gedung megah hasil guratan arsitek-arsitek ternama dan merupakan obyek kesenian sendiri.



Seperti serangga, tampaknya museum ada tiga bagian tubuh utama. Pembagian-pembagian spasial itu tampaknya penting dan mungkin sesuatu yang harus dipahami benar oleh arsitek pendesain museum ataupun kurator museum di Indonesia. Bagian pertama adalah ruang resepsi, tempat awal pengalaman ke-museum-an. Biasanya voyer besar bermarmer, berisi tempat meja tiket, tempat taruh barang dan informasi kesenian. Bagian voyer dan bagian utama berkoridor selalu tertutup oleh dinding, baik beton atau kaca. Voyerreel film. Pengalaman itu diarahkan, seolah karya seni dapat berbicara dalam sebuah narasi panjang yang terpajang di dinding. Koridor kadang berbentuk sangat sederhana ataupun penuh dekorasi, tapi dinding selalu bersifat netral, berwarna putih dan menjadi ajang bagi lukisan yang dipajang. Pengalaman paling menyenangkan terjadi dalam museum yang tidak banyak pengunjung; pengalamanku menjadi lebih pribadi. Ini seringkali tidak mungkin, khususnya dalam museum terkenal seperti Louvre yang kadang tampak seperti dalam sebuah mal, penuh dengan turis ataupun anak-anak sekolahan. Pengalaman koridor itu lalu biasanya menuju pada antiklimaks gift shop ketika kita sudah hampir keluar dari museum. menjadi antisipasi bagi dunia yang ada di belakang dinding, sebuah prolog pencicip untuk dunia di balik sana yang menjanjikan pengalaman estetis yang seharusnya menggugah kesadaran kita untuk melompat pada garis yang lebih tinggi. Kedua, tentunya, adalah ruangan utama tempat lukisan dipajang. Ini selalu berbentuk koridor, dimana lukisan dipajang bagaikan reel film. Pengalaman itu diarahkan, seolah karya seni dapat berbicara dalam sebuah narasi panjang yang terpajang di dinding. Koridor kadang berbentuk sangat sederhana ataupun penuh dekorasi, tapi dinding selalu bersifat netral, berwarna putih dan menjadi ajang bagi lukisan yang dipajang. Pengalaman paling menyenangkan terjadi dalam museum yang tidak banyak pengunjung; pengalamanku menjadi lebih pribadi. Ini seringkali tidak mungkin, khususnya dalam museum terkenal seperti Louvre yang kadang tampak seperti dalam sebuah mal, penuh dengan turis ataupun anak-anak sekolahan. Pengalaman koridor itu lalu biasanya menuju pada antiklimaks gift shop ketika kita sudah hampir keluar dari museum.



Gift shop adalah bagian tubuh ketiga museum. Ia menawarkan semacam antidotemundane, dunia keseharian kita manusia biasa yang membosankan. Di dalam gift shop juga menawarkan kesempatan bagi kita untuk membawa pengalaman itu pulang. Penuh dengan buku-buku seni glossy dengan coverglossy besar di tangannya mengenai van Gogh atau Matisse yang akan ditaruh di meja kopi atau rak buku apartemen dan dapat menjadi bahan pembicaraan antara sesama teman yang �melek� seni ketika berkunjung. Buku belian gift shop menjadi semacam diploma pembenaran pengalaman kesenian. atau ruang aklimatisasi sebelum keluar ke dalam dunia yang tebal yang tampak mewah dan angkuh (karena harganya juga sebagian lumayan mahal), ia memberi kesempatan bagi pengunjung untuk mengukuhkan pengalaman keseniannya dalam bentuk yang fisik. Membenarkan pengalaman spiritualnya, bagai seorang peziarah yang membawa pulang jimat. Membenarkan pernyataannya bahwa ia telah menjadi seseorang anggota kelas baru. Melewati pintu keluar, pengunjung seolah terhentak oleh keberhentian narasi itu sendiri. Di luar gedung dan dinding-dinding koridor, pengalaman estetisnya tiba-tiba secara resmi berhenti di jalanan umum yang ramai. Ia sadar bahwa ia telah mengalami sesuatu, walaupun tidak terlalu jelas apa itu.



Wacana Juga Ada di Luar Sana



Di banyak museum di Eropa, pengunjung disiapkan dengan alat perekam yang menjelaskan karya-karya yang dilaluinya di dalam koridor museum. Ia dinarasikan oleh suara yang terdengar memiliki otoritas dan seringkali dibarengi musik-musik yang sesuai dengan representasi seni yang terdapat dalam museum itu. Di museum dengan seni-seni klasik masa lalu, musik-musik klasik merdu yang mengalun melengkapi kesenangan berjalan mengamati karya di dinding. Leaflet-leaflet juga tersedia dalam beragam bahasa menjelaskan sejarah museum ataupun seniman-seniman utama yang dipajang. Alat-alat penunjang ini dipergunakan sebagai alat inisasi bagi pengunjung. Ia tidak serta merta buta masuk ke dalamnya; pengalaman estetisnya dibantu. Ini penting untuk menunjang kesuksesan keseluruhan protokol. Pengunjung berubah dari konsumen pasif menjadi anggota aktif dunia misterius itu. Ia diberi hak untuk bergabung dalam ke-elit-an klub estetis yang ditawarkan museum. Sama seperti arsitektur tadi, penunjang dunia kesenian Eropa tampaknya dibangun diluar obyek seni yang dipajang itu sendiri, melainkan berada di luarnya pula. Pengalaman multi-sensor ini merupakan satu paket dari keseluruhan pengalaman kesenian di Eropa.



Hal itu tidak saja terletak di alat-alat yang disediakan museum melainkan juga tersebar dalam dunia luas keseharian saya. Ketika saya akan memasuki Rijksmuseum untuk melihat karya-karya Rembrandt, sebagai contoh, kondisi kesadaran saya tidak kosong melompong melainkan sudah berisi antisipasi dari janji pengalaman yang ditawarkan. Sepanjang kehidupan sehari-hari, �seni� itu sendiri terletak sekelebat ketika berkunjung ke rumah teman dan membaca buku glossy teman saya, di poster-poster yang kebetulan terlihat oleh ku ketika sedang berjalan, dalam reproduksi populer lukisan-lukisan terkenal Rembrandt di beragam benda-benda keseharian, ataupun di layar televisi waktu tidak sengaja melihat dokumenter mengenai Rembrandt atau van Gogh. Wacana kesenian tidak terletak pada obyek seni itu sendiri. Ia tampaknya hanyalah klimaks dari serpihan-serpihan yang tersebar luas di luar museum itu sendiri. Jika pun didalam museum terdapat banyak nama-nama seniman dan karya-karyanya yang tidak saya tahu sedikitpun, ia telah disahihkan oleh hubungan-hubungannya dengan karya-karya ikonis seniman ternama itu. Dalam rekaman museum, seorang yang tidak sama sekali kita kenal itu akan diperkenalkan dalam hubunganya dengan dunia kesenian yang lebih besar dan sehingga mengkaitkannya dengan maestro-maestro itu baik akibat persamaan genre, hubungan pribadi dengan maestro ataupun alasan mengapa ia telah membantu atau mengubah genre atau menentang maestro. Kesaling-sengkarutan beragam seniman dengan sejarah hidupnya beserta karya-karyanya hanya merupakan inti dari discourse yang jauh lebih besar yang menawarkan semacam dunia yang tampak misterius sekaligus menjanjikan aksesibilitas palsu; menawarkan kebenaran estetis yang hanya hampir terjangkau tanpa pernah benar-benar bisa diraih. Tapi ini mungkin juga bagian dari legitimasi kesahihan seni itu sendiri.



Bentuk infrastruktur kultural macam ini tampak sulit sekali direplikasikan di Indonesia. Dalam taraf tertentu, ia terbantu oleh proses komersialisasi seni itu sendiri. Museum di jaman dahulu merupakan koleksi pribadi seorang saudagar kaya ataupun pangeran yang menjadi patron kesenian. Di jaman sekarang, museum di Eropa adalah ruang publik yang dibiayai oleh negara. Ini karena ia memenuhi fungsi sosial tertentu masyarakat umum, tetapi juga karena seni itu sendiri telah didemokratiskan. Ia bukan lagi ranah orang kaya, melainkan tercecerkan ke dalam kesadaran kolektif kelas menengah yang tanpa sadar mengkonsumsinya melalui serpihan-serpihan reproduksinya di budaya populer, seperti yang telah saya jelaskan diatas. Dalam hal tertentu ia menciptakan pertanyaan-pertanyaan penting mengenai fungsi seni dalam masyarakat dimana infrastuktur reproduktif seni kedalam kehidupan sehari-hari itu tampaknya mandeg. Jika tidak ada, letak fungsi seni itu sendiri apa? Bagaimana masyarakat seharusnya merayakan pengalaman museum dan seni mereka ketika mereka seringkali benar-benar punya pikiran kosong melompong ketika memasuki museum itu. Tapi bukankah itu fungsi museum? Sebuah alat untuk melegitimasi pengalaman estetis, menciptakan benda seni yang di tempat lain seringkali tidak akan mendapatkan kesahihan itu. Atau dengan kata lain, kamu bisa taruh batu di dalam museum dan menyebutkannya seni.



Peranan Museum di Indonesia?



Saya tidak berhak bicara banyak mengenai museum di Indonesia karena jarangnya saya mengunjungi museum di sini. Tapi dari pengalaman saya mengunjungi beberapa museum seni (ataupun museum lainnya) di Yogyakarta, ketiadaan infrastruktur wacana ataupun gedung tampaknya gagal menciptakan bentuk protokol yang dibutuhkan untuk mengalami seni itu sendiri. Ia tidak hanya berupa karya seni melainkan keseluruhan atmosfer arsitekturnya, bunyi-bunyi yang mengalun dari alat perekam, kata-kata yang tertulis di leaflet dan pada akhirnya serpihan wacana yang ada di dunia luar. Perasaan yang terjadi ketika keluar dari museum di Eropa bagiku sangat berbeda dengan perasaan ketika keluar dari museum di Indonesia. Mungkin ada ketidak-pahaman seberapa teatrikalnya bentuk-bentuk pengalaman institusi macam ini di Eropa (dan banyak tempat lain pula, saya kira). Mungkin pula karena dana terbatas sulit untuk mereplikasinya di Indonesia. Tapi jika begitu, bukankah juga mungkin bagi seniman di Indonesia untuk bereksperimentasi menemukan bentuk-bentuk pengalaman estetis yang bersifat khas Indonesia? Saya tidak tahu bentuk itu seperti apa atau bahkan mungkin sudah ditemukan, tapi saya tahu bahwa pengalaman itu bersifat pribadi dan erat kaitannya dengan pemenuhan perasaan puas yang bersifat pribadi pula. Ia mengingatkanku akan pengalaman yang sifatnya spiritual (walau mungkin tidak sedahsyat itu, tapi siapa tahu, saya belom pernah mengalami pengalaman spiritual).



Jika tidak, pertanyaan diatas itu seharusnya sangat mengganggu dunia museum seni Indonesia. Dunia seni Indonesia sekarang tampaknya dibiayai oleh bantuan asing ataupun patron kaya, tetapi masih butuh waktu lama agar proses demokratisasi seni dapat terjadi di kalangan �wong cilik� Indonesia. Jika kesenian masih terkungkung dalam ke-elit-an dirinya sendiri, maka tampaknya tidak mungkin bagi negara ataupun masyarakat secara serius membantu menciptakan gedung-gedung museum itu. Jika melihat perkembangan cepat pembangunan mal di seantero kota-kota besar di negeri ini, agak miris juga bahwa uang yang dimiliki masyarakat sipil kita tidak juga di-investasikan untuk menciptakan museum-museum yang sama megahnya dengan mal. Keduanya menawarkan bentuk pengalaman yang sifatnya pribadi. Mungkin ada beberapa yang merasa risih bahwa museum disamakan dengan institusi yang begitu rendahan seperti mal, tetapi itu missing the point. Bentuk kedua pengalaman pribadi itu selalu fokus pada pemenuhan bagian-bagian dari bayangan pribadi akan identitas diri, kelas dan posisi. Hanya saja tampaknya rakyat bersedia mengkonsumsi identitas ke-gaul-an mal dengan bahagia dan kurang bersedia mengkonsumsi identitas ke-seni-an dari museum.



Tentu di Indonesia seni tidak harus dikungkung dalam protokol formal seperti museum. Di banyak desa-desa, seni merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang sifatnya alamiah. Pengalaman estetis kesenian sering pula tidak bisa dipisahkan dari pengalaman pribadi lainnya, seperti pengalaman spiritual. Hanya saja hal-hal seperti pertunjukkan wayang atau upacara kubur di Bali atau Tana Toraja, sebagai contoh, tidak mampu mendapatkan aura �seni�. Wacana kesenian itu mendapatan kesahihannya melalui serangkaian institusi-institusi yang bertugas menghasilkan suara-suara atau mungkin apa yang disebut Foucault sebagai enunciation. Museum hanyalah satu bagian kecil dari beragam institusi lainnya seperti galeri-galeri, universitas-universitas yang menawarkan sejarah atau kritik seni, buku penerbit kesenian yang mengeluarkan buku seni glossy, majalah-majalah kesenian ternama, auction house-auction house yang terhormat, konferensi-konferensi ilmiah mengenai dunia kesenian dengan beragam pakar dan kritikus yang semua bertujuan menciptakan wacana mitis besar akan pengalaman estetika kesenian. Pengembangan per-museum-an Indonesia tidak bisa tidak harus terkait dengan pengembangan institusi-institusi ataupun subyek-subyek lain.



Jika kita serius dalam mengembangkan bentuk kesenian yang dialami lewat institusi museum, maka tidak ada jalan kecuali mencari cara agar orang peduli dan mampu mendapatkan pengalaman yang setaraf dengan yang bisa didapatkan di Eropa. Bagaimana menciptakan apa yang disebut Foucault sebagai discourse inilah yang tampaknya kurang dapat dimaknai di Indonesia. Ini terlihat bukan hanya di dalam dunia per-museum-an Indonesia, tetapi dalam beragam dunia kesenian lainnya seperti arsitektur, walau tampaknya tidak benar untuk dunia sastra. Kegagalan ini mengurangi segi otentisitas dari pemahaman pengalaman. Mengapa mengamati gedung hasil karya Zaha Hadid atau Cesar Pelli, sebagai contoh, jauh lebih nikmat dibandingkan mengamati gedung-gedung hasil desain orang Indonesia di Jakarta atau Yogyakarta. Bagaimanapun, ia adalah pengalaman pribadi yang seringkali sangat bisa dinikmati. Dan menurutku, ini pula bagian dari tugas bagian-bagian masyarakat sipil yang peduli akan kesenian untuk menjual institusi museum ke kalangan masyarakat luas. Dan karena banyak darinya adalah seniman, saya yakin bentuk-bentuknya pasti sangat kreatif.


*) Alumnus Jurusan Sejarah, UGM Yogyakarta. Sedang menempuh program pascasarjana di Universitas Leiden.




sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: