Jumat, 05 Februari 2010

Mengingkari 'Misteri' dalam Karya Seni
oleh Kuss Indarto

Patung karya seniman tokoh conceptual art, Sol Lewiit


Awal tahun 2003 lalu, dalam sebuah diskusi kecil tentang seni rupa di sebuah kampus yang terhormat di Yogyakarta, seorang pelukis mencoba memaparkan gagasan dan proses kreatifnya. Menurut sang perupa, karya-karya lukisnya yang menggambarkan figur-figur perempuan banyak muncul karena 'sosok perempuan adalah sebuah misteri'. Ketika audiens mendesak dan menghasratkan keterangan yang lebih eksplanatif, detil, dan argumentatif perihal 'misteri perempuan' itu, perupa berambut gondrong tersebut tetap bersikukuh 'memisterikan' subyek karya-karyanya yang waktu itu tengah digelar pada sebuah ruang pajang di Yogyakarta. Dia tetap bergeming (tidak bergerak) dan bertahan pada postulat finalnya bahwa 'Pokoknya, perempuan itu sesuatu yang inspiratif dan misterius bagi saya, tiada lain!' Titik. Diskusi pun akhirnya mandeg sampai di situ.

Kisah kecil di atas sekilas merupakan peristiwa yang wajar, nyaris biasa-biasa saja. Sama wajarnya dengan asumsi bahwa diskursus (tentang) seni rupa adalah perbincangan sebuah kasus dengan aspek relativitas yang kuat, bukan laiknya menyanding ihwal eksakta, seperti halnya ilmu-ilmu fisik(a), dengan tingkat kemutlakan yang ketat. Namun, bagi saya, sungguh, kejadian itu mencerminkan sebuah kebuntuan bernalar yang begitu akut bagi seorang seniman. Dugaan saya, suatu subyek karya seni dianggap menjadi 'misterius' oleh senimannya karena modus bernalar tidak dipergunakan sebagai sistem pendekatan. Maka, jagad imajinasi seniman seolah menjadi dunia tersendiri yang terpotong jauh di luar dunia bernalar. Atau dengan kata lain, seolah dunia bentuk dan dunia gagasan dalam sebuah karya adalah dua kawasan yang terentang jarak tanpa jembatan.

Tentu bisa dimafhumi andai seorang seniman memiliki keliaran dalam berimajinasi. Bahkan hal itu merupakan keniscayaan yang semestinya menjadi elan vital dalam proses kreatif. Namun untuk membincangkan jagad penciptaan karya seni rupa mutakhir, pertanyaan kuno yang bisa kembali diketengahkan adalah, apakah imajinasi datang dari ruang hampa, ataukah dia bertaut erat dengan realitas sosial yang melingkupi jagad sosial seniman sebagai homo socius di samping tentu saja sebagai homo esteticus? Dan hal yang lebih penting lagi, apakah imajinasi mampu mengakomodasi dan melibatkan logika, atau sebaliknya logika mampu mengelola imajinasi?

Barangkali ini adalah rentetan pertanyaan yang tidak akan serta-merta ditemukan jawabannya secara langsung dalam tulisan singkat ini. Saya hanya berkehendak untuk menengok sekilas kecenderungan kecil (yang mungkin telah mulai membesar) yang terjadi dalam perkembangan seni rupa di Barat dewasa ini, yakni trend atas karya seni yang menyandingkan secara seimbang dan integral antara jagad imajinasi dan jagad logika. Praktik berkesenian nyaris senantiasa diupayakan bergandengan tangan dengan praktik berlogika.

John W. Haefels dalam Creativity and Innovation (1962) pun sejak awal telah menggarisbawahi dan mengidealkan sebuah tahapan dalam berproses kreasi seni yang mengindikasikan pentingnya peran berlogika, yakni lewat tahap-tahap persiapan (preparation), pengeraman (incubation), penemuan ide-ide (illumination), dan pengujian (verification). Tahapan ini telah dengan jelas 'mengarahkan' sebuah sistematika kerja yang mengedepankan pengintegrasian kerja logika dan kerja emosi untuk menggembungkan sebesar-besarnya hasil kerja (= karya seni) yang selama ini dianggap bersifat instinktif. (Apalagi hingga muncul perguruan tinggi seni, yang kemungkinan salah satu alasan pendiriannya adalah pengakuan bahwa seni pun bisa diilmukan, proses kreatif pun setidaknya mampu dilogikakan).

Dan sebagai salah satu pengejawantahan praktik berlogika adalah melakukan riset yang berkaitan dengan proses kreatif. Kiranya beberapa seniman di Indonesia pun mulai melakukan praktik penciptaan dengan modus riset, entah hal ini bagian dari kesadaran inner-feeling-nya atau semata-mata merupakan wujud pengadopsian trend posistif dari Barat yang tak layak untuk dikesampingkan.

Pengertian riset di sini tentu tidak seketat dibanding, misalnya, riset dalam ilmu sosial atau apalagi ilmu eksakta. Maksud saya, riset dalam seni rupa adalah sebuah strategi berkarya yang melepaskan persoalan estetika, berikut bentuk dan media ungkapnya sebagai wilayah otonom penuh nilai. Maka persoalan estetika adalah persoalan jagad bentuk yang menjadi 'muara' atau 'alat' dalam prosedur berkesenian, sementara jagad gagasan, yang mencakup ihwal konsep dengan berbasis (antara lain) pada sosiologi, politik, ekonomi, biologi lingkungan, sejarah dan masih banyak kemungkinan lain, merupakan 'ruh' yang memberi kerangka acuan dalam perwujudan karya seni.

Riset dalam seni basisnya jelas berbeda, namun substansi dan (kelak) output-nya akan kurang lebih sama, yakni memunculkan sebuah hasil kerja yang bisa dipertanggungjawabkan dalam perspektif intelektual, tentu dengan kekhasannya sendiri. Gerrit Willems, Direktur Pusat Seni Rupa di Dordrecht Belanda, dalam catatan kritisnya yang tertuang dalam buku '15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacuum'' (2003) mencoba memberi titik beda antara riset dalam ilmu dan seni. Menurutnya, ilmu (sains) terikat pada metode si periset, sementara seni terikat pada person si periset.

Strategi kreatif semacam ini, sebenarnya, telah terindikasikan kemunculannya dalam karya-karya seniman Conceptual Art (Seni Konseptual) medio 1960-an di Barat, yang pertama kali diperkenalkan oleh seniman Sol LeWitt tahun 1967 di Amerika. Tokoh-tokohnya antara lain Dennis Oppenheim, Tom Marioni, Les Levine, Joseph Kosuth, Hans Haacke, Joseph Beuys, dan lainnya. Mereka tak sekadar mengetengahkan bentuk-bentuk visual dalam pameran, melainkan, secara ekstrem, juga menggunakan teks sebagai sarana visual yang otonom. Berbagai metode riset sosiologi pun juga digabungkan sebagai sarana artistik baru. Dari sini sedikit terlacak bahwa para seniman waktu itu pun telah berupaya untuk meretas 'kabut hitam' dalam karyanya dengan meninggalkan apologi atas subyek karyanya sebagai 'misteri', melainkan mencoba melogikakannya dalam rentetan nalar obyektif yang bisa dipertanggungjawabkan secara estetik dan intelektual.

Kalau toh contoh di atas dianggap terlalu ekstrem, sebetulnya ada contoh lain dengan gradasi ekstremitas yang berbeda. Misalnya munculnya seni rupa surealisme di Barat pada dasawarsa 1920-an yang diduga kuat memiliki keterkaitan erat dengan teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Dari sini terlihat bahwa Salvador Dali dan pelukis segenerasi dan sealirannya tidak terpaku dalam ruang hampa seni yang 'senyap', melainkan juga melibatkan diri dalam jaringan korelasi yang ketat antara dunia seni dan dunia intelektual. (Ini jelas berbeda jauh dengan kemunculan lukisan 'surealisme' ala Yogya yang sempat boom pada awal 1980-an hingga awal 1990-an).

Kini, perkembangan atas trend ke arah itu terlihat kian meluas cakupan wilayahnya. Bukan hanya wilayah geografis semata melainkan juga dalam bentangan wilayah keragaman karya seni. Misalnya, sebagai contoh kecil, komik 'The War in Eastern Bosnia 1992-95' 'karya Joe Sacco terbitan tahun 2000. Dalam komik yang mengisahkan petualangan empat (4) jurnalis Amerika di kota Goradze di lereng lembah Drina Bosnia itu, terlihat dengan jelas garis gagasan dan pemikiran yang cerdas dari seniman tersebut. Tampak di sana ada semacam hasil riset foto yang luar biasa cermat, persentuhan empirik dengan subyek yang melebihi hasil kerja seorang jurnalis, serta kepeduliannya pada aspek akurasi data dan dokumentasi yang detil. Dengan perhatian atas kompleksitas proses kreatif tersebut, bagi saya, karya komikus Amerika ini bukan saja sebagai karya seni, melainkan bisa menjadi alternatif bagi dokumentasi sosial tentang perang Balkan. Ada cara pandang lain dalam melihat perang yang khas seniman/komikus. (Lihat juga karya Joe Sacco yang lain seperti komik Gaza, atau Palestine yang bahkan diberi catatan khusus oleh tokoh poskolonialis besar berkebangsaan Palestina, Edward Said, sebagai 'karya politis dan estetis dengan orisinalitas luar biasa').

Juga, tahun lalu, ada seniman berwarga negara Malaysia keturunan Mesir dan Selandia Baru, Nadia Bahadhaj, yang berkarya dan berpameran di Yogyakarta. Sebelum memajang karya instalasi dan pemutaran video seninya pada akhir September 2003 bertema rekonsiliasi, berbulan-bulan sebelumnya dia 'harus' menjadi peneliti. Beberapa kota di Jawa dikunjunginya untuk mewawancarai para bekas anggota PKI dan keluarganya yang masih hidup dan sempat terteror bertahun-tahun di bawah rezim Soeharto. Saya kira, karyanya sedikit banyak bisa melengkapi dan memperkaya dokumen sejarah juga antropologi tentang traumatiknya para bekas kader PKI yang sempat mati dalam hidup selama bertahun-tahun.

Contoh-contoh karya seniman tersebut memberi titik baru dan penting bagi pemahaman kita dalam melakukan praktik berkesenian. Modus kreatif dengan 'menunggu jatuhnya inspirasi dari langit' seperti yang diagul-agulkan sebagai romantisme seniman masa lalu, kiranya tidak lagi menarik untuk terus dipelihara. Inspirasi bukanlah sesuatu yang given, terberi, melainkan mesti dicari, dirawat, dan dikelola. Maka kesadaran bahwa dalam diri seniman termuat kadar intelektualitas, idealnya memang senantiasa dikedepankan. Dan riset adalah alternatif aktualisasinya.

Catatan ini tentu tidak secara frontal saya hasratkan untuk menisbikan posisi para perupa yang mengedepankan spontanitas dalam proses berkeseniannya. Misalnya mereka yang memiliki kecenderungan berkarya ekspresionistik. Justru dengan membawa 'spirit riset' dalam laku kreatifnya, seorang pelukis ekspresionisme, sebagai contoh, akan dituntut secara prosedural untuk terus melakukan uji coba (try-out) yang dalam berkesenian berarti eksperimen, sebagai strategi dalam mengingkari upaya repetisi pada tiap karyanya. Dalam konteks ini, tentu saja tidak ada metode yang seragam dan telah dibakukan lebih dulu untuk diikuti, dan tak ada kriteria yang telah distandarkan untuk menjadi parameter tunggal apakah suatu eksperimen kesenian dapat dinilai berhasil atau tidak. Tapi setidaknya, seorang perupa akan senantiasa sadar secara estetik dan intelektual dengan apa yang akan dan telah dilakukannya lewat (ber)karya seni. Andai karya seni diberlakukannya sebagai wahana katarsis misalnya, dia akan tahu mengapa, bagaimana katarsis itu timbul dan berimbas pada sebuah karya.

Kiranya, alangkah idealnya andai seniman tiada lagi melontarkan kata 'misteri' sebagai basis apologi. Kecuali kalau menjadi bagian dalam lakon sinetron yang tidak kunjung cerdas di televisi kita itu!

(Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, Minggu 5 Desember 2004)



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: