Perayaan Rutinitas Kritisisme
oleh Satmoko Budi Santoso
Karya 'Kios Kejujuran Ojo Dumeh' kreasi seniman A.C. Andre Tanama. Ini merupakan satu di antara puluhan karya lain yang terpajang di pameran 'Bank Bank Krut' yang dihelat di Bentara Budaya Yogyakarta. (foto: kuss)
SEBUAH instalasi kios menjual kaos, tas anak, tas sekolah, dan sejumlah pernak-pernik kebutuhan domestik lainnya. Sejumlah kaos itu bertuliskan larangan untuk berkiprah di jalur korupsi. Ya, itulah sebuah karya instalasi AC Andre Tanama bertajuk Kios Kejujuran Ojo Dumeh (variable dimension, 2010). Sebuah karya yang merupakan salah satu dari puluhan karya perupa lainnya dalam pameran bertajuk Bank Bank Krut di Bentara Budaya Yogyakarta, 8-16 Januari 2010.
Hantaran karya AC Andre Tanama dalam perhelatan pameran itu adalah sebuah indikasi bagaimana cara perupa dalam memasuki era tahun 2010 ini menempatkan perspektif estetikanya. Sejalur dengan perspektif estetika visual yang dibangun AC Andre Tanama, perupa Ardian Kresna memilih cara ungkap berupa gambar seseorang berdasi, tanpa baju, sedang memakan menu mie yang ada di kepala orang yang lehernya ia duduki. Di lain tempat, panel kanvas perupa Hadi Soesanto adalah berupa gambar hablur sosok Anggodo dalam posisi mulut terbuka yang ditimpuk deretan gambar notasi musik.
Boleh jadi, ketiga karya tersebut dengan segera bakalan menggiring penikmat pada simpul asumsi, seberapa jauh dan dalam pendekatan estetika dilakukan perupa di era 2010 ini. Apakah yang terjadi? Kenapa gambar-gambar itu seperti justru bermonolog dengan dirinya sendiri sebagai bagian perayaan rutinitas kritisisme? Sesuatu hal yang sebenarnya telah kita ketahui secara bersama dan upaya pendekatan visualnya pun relatif 'sudah kita pikirkan bersama-sama'.
Dari sebuah dinding fesbuk, saya teringat perupa Daniel Flanagan alumni Kansas City Art Institute Amerika yang tahun lalu pernah menggelar pameran tunggal di Museum dan Tanah Liat Yogya dan hari-hari belakangan ini sedang disibukkan bersama perupa S Teddy D karena menggelar pameran bersama di Kendra Gallery Bali, menulis kalimat 'if a picture does not shock, it is nothing.' Marcel Duchamp.
Ketika saya memasuki area pameran di Bentara Budaya Yogya tersebut, entah mengapa, ingatan atas teks itu muncul begitu saja. Saya seperti terperangkap dalam sebuah labirin pameran yang justru mengedepankan klise kritik, klise empati moral. Meski begitu, saya merasa justru sayalah yang sebenarnya 'bodoh'. Kenapa? Karena 'tidak mau berkompromi' dengan pendekatan 'kerangka kuratorial' yang rupanya memang sudah cenderung tematik, sesuai dengan tajuk pameran yang mengarah pada aktualisasi isu keberadaan sebuah bank yang mengalami kebangkrutan, misalnya.
Tetapi, bisa jadi, 'kebodohan' saya untuk hanya menafsir sebagaimana kesan selintasan di atas tidaklah terlalu salah. Saya melihat, di era eforia perayaan kritisisme seperti sekarang, banyak seniman justru terjebak dalam formula estetika yang benar-benar monoton. Tidak ada lagi kejutan di ruang estetika karya itu, karena nilainya menjadi terlalu klise tersebut. Inilah tantangan seniman perupa hari-hari ini, satu tantangan yang memang 'merepotkan'. Rupanya, estetika kritik sosial kini mestinya tidak hadir hanya dalam kerangka kritik atau respons situasi itu sendiri. Sudah terlalu berlebih, membanjir tak karuan. Realitas dari yang dikritisi sendiri sudah jauh lebih memerlukan solusi ketimbang hanya kritik itu sendiri.
Dalam sebuah artikel atas respons pameran perupa Totok Buchori di sebuah koran terbitan Jawa Tengah, saya pun pernah mengintrodusir perkara ini. Saya mengutip pendapat Nirwan Dewanto soal karya seni yang tidak ada bedanya dengan isi berita koran dan nilainya jatuh menjadi semacam 'pidato klise'. Memang, untuk mencari formula solusi atas membanjirnya karya seni yang akhirnya terjebak menjadi 'pidato klise' itu sendiri juga tidak mudah. Namun, jika belajar dari sejumlah fakta adanya pameran, termasuk dalam Bank Bank Krut kali ini, maka setidaknya saya mempunyai sejumlah pendekatan untuk menghindarkan diri dari terciptanya suasana berkarya yang selalu terjebak 'pidato klise' tersebut.
Pertama, kerangka kuratorial yang ditawarkan kepada seniman perupa semestinya bisa lebih dipertajam aspek target visualnya. Betapa pun pada akhirnya perupa akan merumuskan capaian visualnya seenak perut, namun jika kerangka kuratorialnya lebih dikerucutkan lagi pada tafsir solusi misalnya, maka kemungkinan besar si perupa juga akan berjuang keras mencari imaji, mencari metafor, mencari bahasa visual yang lebih bernilai alternatif dan sesuai dengan tuntutan kuratorial yang cenderung detail tersebut.
Kedua, pendekatan fenomena sosial yang dipilih tentu saja akan lebih baik jika bukan hanya berlatar isu lokal seperti misalnya tafsir atas Bank Bank Krut adalah Bank Century, kehancuran moralitas hukum sehingga muncul ikon Anggodo, namun dari isu yang bersifat lokal perupa dituntut mencari perspektif alternatif yang bersifat 'studi perbandingan'. Mungkin dari kasus-kasus serupa di negara Barat dan sejenisnya. Sehingga dalam hal ini kurator memang berperan relatif lebih ketat dalam menggiring tafsir visual yang mungkin akan lahir. Bahkan dalam banyak hal peran kurator menjadi semacam fasilitator dan pendamping proses kreatif yang kerjanya sungguh seperti periset ulung, memberikan sejumlah pandangan dan pintu jalan keluar dalam hal referen yang dibutuhkan perupa sehingga capaian visualnya bisa lebih bernilai mengejutkan dan mungkin solusi menyegarkan di tengah kemungkinan jebakan perayaan 'pidato klise' tersebut.
Jika memang melalui pendekatan kedua alternatif jalan keluar dari sisi kinerja kuratorial itu tetap gagal, apa mau dikata, boleh jadi mind set si perupa memang hanya sampai pada respons kecerdasan visual yang terbatas. Boleh jadi, problem soal 'pidato klise' semacam ini sama dengan apa yang ditulis Herry Dim dalam situs ini ketika menyoroti parahnya tafsir visual sejumlah perupa yang terlibat dalam biennale Jawa Timur 2009 kemarin. Betapa penerjemahan aspek menilik akar, perwujudannya adalah sebagaimana akar tradisi, budaya lokal, dan sejenisnya.
Dalam artikel tersebut Herry Dim seolah menggugat kenapa tidak ada perupa yang mempunyai pendekatan cerdas secara sosiologis, misalnya menafsir secara visual problem yang melingkupi korban Lumpur Lapindo. Bukankah sudah memuat sublimitas problem lokal yang begitu kompleks? Visualisasi apa yang menarik dalam kasus Lumpur Lapindo selain penderitaan korban Lumpur Lapindo? Dalam hal seni bervisi respons sosial dan kritik sosial, tafsir visual apa di luar persoalan memindah demonstrasi ke ruang pameran yang lebih menarik? Tafsir visual apa yang juga menarik untuk membebaskan karya seni tersebut sehingga tidak hanya seperti membaca ulangan isi berita koran? Bukankah isi koran sekarang muatan pemberitaan teks dan fotonya hampir sama dengan parade karya instalasi?
Rupanya, metodologi proses kreatif sejumlah seniman sekarang jauh lebih berat dari era dulu ketika kritik masih menakutkan sehingga nilainya menjadi berbeda dengan isi berita koran. Oleh sebab itu menjadi tugas kita bersama untuk mencari formula atas benang merah tantangan visual perupa terkini yang sungguh problematis tersebut.
Boleh jadi, menumbuhkan iklim proses kreatif yang berbasis riset, diskusi, dan studi perbandingan adalah penting. Itulah yang sekiranya bakalan sedikit mengeliminir pencapaian visual yang mirip 'pidato klise': asal comot tafsir dari isu yang berkembang apa adanya, baik di televisi ataupun koran, yang seringkali substansinya adalah kabur, rekayasa, bohong semata. Wah, celaka! Beruntunglah orang yang membuat skenario rekayasa itu, bukan? ***
*) Satmoko Budi Santoso, pemerhati seni rupa. Tinggal di Yogyakarta.
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar