Senin, 22 Februari 2010

Nilai untuk Kartika Affandi, Ki Ledjar Soebroto, dan Sanggar Bambu
oleh Tim Indonesia Art News


Sosok Kartika Affandi dan Ki Ledjar Soebroto. (foto: kdei-taipei.org & kuss)


Perupa perempuan Kartika Affandi, dan seniman wayang kulit Ki Ledjar Soebroto, menerima Lifetime Achievement Award. Penghargaan ini diberikan oleh panitia Biennale Jogja X-2009. Penyerahan resminya dilakukan pada kesempatan acara penutupan perhelatan dua tahunan itu di venue Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta, 10 Januari 2010 malam.

Penghargaan tersebut diberikan karena dua seniman tersebut dianggap telah menggeluti dengan penuh kesetiaan, dedikasi yang tinggi, pencapaian yang signifikan, dan konsistensi yang terus-menerus terhadap profesi masing-masing dalam lingkup seni rupa.

Kartika Affandi, perempuan kelahiran Jakarta, 27 November 1934 (75 tahun) sudah sejak usia kanak-kanak menggeluti dunia seni rupa dengan dukungan yang kuat dari pihak keluarga, terutama ayahandanya, maestro seni rupa Indonesia, Affandi. Kartika terus mendalami gairah kreatifnya dengan berkarya dan masuk di jalur akademis yang menguatkan kemampuannya, seperti di Universitas Tagore di Shantiniketan, India, lalu belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London, hingga masuk ke jalur studi tentang teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria, yang dilanjutkannya di Roma. Kerja kerasnya selama ini telah pula mendapatkan pengakuan dari publik lewat penghargaan doctor honoris causa dari Northern California Global University, Amerika Serikat, dan juga meraih ‘The Best Indonesian Professional Award’ dari Forum Wartawan Independen Jawa Tengah (Forwija).
Hal penting yang juga patut dipertimbangkan pada ‘mami’ (sebutan karib orang-orang di sekitarnya) adalah kukuhnya sikap pribadi dan dukungan keluarga besarnya untuk tetap mempertahankan keberadaan Museum Affandi di tengah terpaan dan godaan komersialisme yang kian deras di sekitarnya. Museum di tepi sungai Gajah Wong itu merupakan salah satu ikon penting dunia seni rupa Indonesia yang masih berdiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sementara sosok penerima Lifetime Achievement Award yang lain, yakni Ki Ledjar Soebroto, adalah seniman yang berangkat dari dunia seni tradisi yang terus dikukuhinya dari masa kanak-kanak. Lelaki humoris kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 20 Mei 1938. Latar belakang pendidikan yang dikenyam olehnya hanya sekolah dasar. Namun bakatnya yang besar tak mampu membendung gelombang kreativitasnya dalam mengelola sekaligus menghidupkan seni tradisi wayang kulit. Selama bertahun-tahun Ki Ledjar telah menjadi penyungging (pembuat) wayang kulit. Kakek ini tidak sekadar melakukan upaya repetisi bentuk pada subyek wayang yang dibuatnya yang telah menjadi pakem dari abad ke abad, namun juga mengkreasi secara dinamis bentuk-bentuk wayang yang baru.

Wayang Kancil kiranya merupakan kreasi wayang yang telah membentuk identifikasi atas alur kreativitasnya selama puluhan tahun terakhir. Wayang Kancil merupakan wayang yang menggambarkan kisah-kisah fable (dunia binatang) dengan tetap menyandarkan diri pada aspek per-wayang-an seperti pada umumnya. Kisah-kisah yang dibangunnya juga menyesuaikan dengan jaman. Selain wayang, Ki Ledjar juga menciptakan banyak karya topeng.

Wayang-wayang kreasinya telah banyak dipentaskan sendiri atau oleh orang lain di berbagai kesempatan di banyak negara. Juga telah dikoleksi oleh banyak pihak. Di antaranya di Museum Sanabudaya Yogyakarta, Balai Budaya Minomartani Yogyakarta, Museum Wayang Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Tim Byard-Jones, University Of London, Inggris, Ubersee Museum, Bremen, Jerman, Museum of Anthropology (Dominique Major), Canada, Museum Tropen, di Amsterdam, Belanda, dan sebagainya. Ki Ledjar sebelumnya pernah menerima penghargaan dari Majalah Gatra tahun 1995, dan Penghargaan Seni dari pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1997.

Selain dua tokoh seni tersebut, panitia Biennale Jogja X-2009 juga mempersembahkan satu penghargaan lagi, yakni The Respect Award. Penghargaan yang baru kali ini dibuat dalam tradisi Biennale Jogja dialamatkan kepada komunitas atau lembaga (non-perseorangan) yang telah mendedikasikan khusus pada dunia seni rupa. Untuk kesempatan pertama ini, The Respect Award diterimakan kepada komunitas Sanggar Bambu, Yogyakarta, pimpinan Sunarto PR. Komunitas yang didirikan 1 April 1959 tersebut dinilai menjadi salah satu motor penggerak yang mewarnai perkembangan seni rupa di Yogyakarta. Meski aktivitasnya bagai ‘kerakap di balik batu’ dalam (setidaknya) 15-20 tahun terakhir, namun secara historis komunitas ini tetap menghidupi kerangka kreatif dan memberi kontribusi penting bagi sebagian perupa terdepan Indonesia. Sebut misalnya Dadang Christanto, FX Harsono, dan masih banyak lagi.

Para peraih Lifetime Achievement Award akan menerima trofi dan sejumlah dana sebesar Rp 15 juta. Sementara penerima The Respect Award juga mendapatkan trofi dan dana sejumlah Rp 7 juta. Tim yang merekomendasi dan menentukan nama-nama peraih penghargaan ini adalah Dyan Anggraini, Anggi Minarni, Yustina Nugraheni, Butet Kertaredjasa, Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Hari ‘Ong’ Wahyu, dan Kusen Alipah Hadi. Sebelum memutuskan nama-nama yang sekarang terpilih itu, bursa nama-nama calon penerima bertebaran dalam diskusi di salah satu ruang rapat di Taman Budaya Yogyakarta. Dalam bursa nama-nama itu antara lain ada nama Amrus Natalsja, Handrio, Aming Prayitno, juga Abas Alibasjah, dan beberapa nama lainnya. Diskusi berlangsung cukup keras untuk mengerucutkan nama pilihan terakhir.

Sebagai catatan, para penerima Lifetime Achievement Award Biennale Jogja VIII-2005 adalah seniman G. Sidharta dan Sukasman. Lalu pada perhelatan Biennale Jogja IX-2007 masing-masing adalah pematung Edhi Sunarso dan Prof. Soedarso Sp., MA.





sumber : http://indonesiaartnews.or.id/


Tidak ada komentar: