Apa yang Dihasilkan Pasar?
Apa yang dihasilkan ”booming” pasar seni rupa kontemporer di Indonesia dua tahun belakangan? Pameran bertubi-tubi, transaksi marak, dan para perupa serta pengelola galeri tambah sejahtera. Namun, ternyata pasar tak lebih jauh melahirkan infrastruktur seni rupa yang berorientasi lebih panjang, termasuk membangun infrastruktur pasar itu sendiri.
Pasar seni rupa di Tanah Air terdongkrak seiring dengan booming pasar seni rupa kontemporer China. Dipicu melejitnya harga lukisan beberapa seniman muda di sejumlah lelang Asia pada awal tahun 2007, pasar memanas hingga pertengahan tahun 2008. Akhir tahun ini, pasar melemah.
Penurunan terlihat dari suasana lelang Shoteby’s, Christie’s, Borobudur, Larasati, dan lelang Sidharta. Sejak September lalu, lelang-lelang itu masih diwarnai transaksi, tetapi harga terkoreksi drastis. Karya seniman China tak selaris dulu, bahkan sebagian tak terjual. Kalaulah laku, harganya tak setinggi lelang-lelang sebelumnya.
Pasar seni rupa di Indonesia pun terimbas. Jika pameran-pameran sebelumnya karya seni terjual habis alias sold out, kini hanya sedikit yang terjual. ”Kalau dulu 75 persen, bahkan 100 persen, karya yang dipamerkan laku, sekarang tinggal 40 persen atau kurang,” kata Biantoro, pemilik Nadi Gallery di Jakarta.
Semua itu dipicu krisis finansial dunia yang menghantam hampir semua sektor ekonomi. Ketika nilai saham berjatuhan, sebagian kolektor seni yang ikut main saham kelimpungan. ”Dalam situasi serba tak pasti, semua orang menahan diri. Lebih baik membelanjakan uang untuk kebutuhan primer atau sekunder ketimbang membeli karya seni,” kata Biantoro menambahkan.
Hasil?
Setelah pasar menurun, kita tiba-tiba tergoda untuk bertanya: apa yang dihasilkan pasar selama booming dua tahun ini? Fakta yang kasatmata, dunia seni rupa di Tanah Air semakin bergairah. Pameran marak di kota-kota besar di Indonesia, bahkan melebar ke Singapura, Malaysia, Korea, atau China. Galeri lama makin bersemangat, galeri baru banyak bermunculan.
Lelang gencar digelar dengan transaksi bernilai miliaran rupiah untuk karya-karya favorit. Komodifikasi karya seni getol berlangsung seiring tumbuhnya banyak kolektor, kolekdol (alias kolektor yang berorientasi adol atau jualan), pedagang, dan spekulan seni anyar. Mereka turut meramaikan berbagai pameran seni rupa di Asia, terutama di China.
Seniman tentu diuntungkan. Hasil menjual lukisan mendongkrak kemakmuran mereka. ”Para seniman seperti hidup dalam dunia mimpi. Jika dulu ke mana-mana jalan kaki atau naik angkutan, sekarang mereka bermobil mewah, rumah bagus-bagus,” kata Heri Pemad, penggiat pameran seni rupa di Yogyakarta, mengomentari perubahan kehidupan pelukis saat booming.
Mediasi seni rupa ramai dengan hadirnya majalah-majalah khusus seni rupa. Visual Arts yang terbit sejak Juni 2004 semakin kuat. Disusul kemudian C-Art sejak Oktober 2007, lantas Arti yang terbit mulai pertengahan Juni 2008.
Bagaimana dengan pengamat, kurator, dan kritikus? Mereka juga turut menjamu pasar. Bekerja dengan galeri-galeri langganan, mereka mempromosikan seniman dan memberi pengantar pada katalog pameran. ”Semua orang di dunia seni rupa kecebur dan basah dalam gelimang pasar,” ujar Aminuddin TH Siregar, pengamat seni rupa dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Instan
Hanya saja, jika dicermati, gairah merayakan pasar itu masih cenderung instan dan individual. Meminjam ibarat pengamat seni Enin Supriyanto, para stakeholder seni rupa di sini ramai-ramai menyiduk air dari genangan ketimbang menggali sumur. Artinya, kita masih gemar meraih keuntungan secara cepat, tanpa mau bekerja lebih serius untuk menyiapkan pengembangan seni rupa dengan visi lebih panjang.
Pameran-pameran dua tahun ini menggambarkan gejala itu. Dalam soal harga saja, tak ada patokan jelas karena masing-masing pemilik galeri punya ukuran sendiri. Harga makin kisruh akibat permainan spekulan yang melempar karya baru ke lelang demi mereguk kentungan besar.
”Semua bersaing untuk kepentingan sendiri. Yang banyak bermain kan pedagang yang ingin jalan sendiri-sendiri untuk hasilkan uang banyak dalam waktu cepat,” kata Edwin Rahardjo, pemilik Edwin’s Gallery.
Dengan semangat macam itu, pasar tak sempat dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan semua stakeholder seni rupa demi membangun infrastruktur bersama yang lebih langgeng, seperti museum, galeri nasional, atau lembaga pendidikan seni. Bahkan, infrastruktur pasar sendiri—katakanlah semacam Indonesian art fair yang bisa memediasi karya seni untuk pasar Asia—ternyata juga sulit dilaksanakan. Selain lemah dalam kerja tim, rencana itu terhambat persoalan perpajakan, bea cukai, dan izin keluar-masuk barang seni yang tidak jelas.
”Jangan berharap terlalu besar. Kita bergerak seperti keong. Dalam lingkup kecil saja, banyak galeri yang belum serius menggarap materi pameran, mengurus publikasi, membuat caption, atau membuat katalog,” kata pengamat seni Hendro Wiyanto.
Menurut Aminuddin, semangat instan juga menjangkiti seniman yang menggenjot produksi karya secara cepat. Jika di musik ada istilah easy listening dan di sastra ada easy reading, di seni rupa tumbuh gejala easy looking: Karya yang menonjolkan pesona visual yang enak dipandang mata, tetapi tak punya kedalaman. Umumnya karya itu digarap secara cepat dengan bantuan teknologi fotografi, kamera digital, dan komputer.
Semangat instan juga merasuki kalangan pengamat dan kurator yang sibuk dengan wacana sendiri-sendiri. Mediasi yang fragmentaris, tanpa upaya integrasi dalam satu paket besar yang tuntas justru merancukan wacana bersama. ”Orang luar jadi pusing melihatnya. Kalau semua main klaim, lalu mana yang kontemporer?” kata Aminuddin.
Begitulah, kelesuan pasar sekarang ini bisa jadi momen perenungan, bagaimana baiknya langkah pengembangan seni rupa Indonesia ke depan.
Ilham Khoiri
Sumber: Kompas, 28 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar