Dari Ruang Pamer hingga Tempat Diskusi Para Seniman
Tujuan utama keberadaan galeri dan juga rumah seni adalah menjadi ruang presentasi dan apresiasi seni bagi seorang perupa yang memamerkan karyanya kepada masyarakat. Galeri dan juga rumah seni juga berfungsi komersial, yaitu menjadi tempat bertemunya seniman dan kolektor.
Namun, Taufiq Dahara mendirikan Galeri Dahara pada 10 November 2005 lebih untuk menyediakan ruang presentasi perupa dan bukan sebagai ruang komersial. "Sedari awal kami sepakat bahwa galeri ini tidak akan berorientasi pada keuntungan. Kami ingin menampilkan karya perupa yang berdedikasi terhadap seni itu sendiri," katanya.
Untuk itulah, Taufiq memutuskan untuk lebih selektif dalam menampilkan karya seni di galerinya. "Wujud visual yang akan ditampilkan adalah prioritas nomor dua. Hal terpenting adalah dedikasi, totalitas, dan proses penciptaan karya dari si perupa," kata Taufiq.
Tak heran, Galeri Dahara kurang produktif dalam menyelenggarakan aktivitas seni. Tak lebih dari tujuh pameran yang diadakan galeri tersebut sejak berdiri tiga tahun lalu.
Bagi Taufiq, menghidupkan geliat seni rupa di Semarang bukan hanya dengan mengadakan pameran sebanyak-banyaknya, tetapi juga dengan mengangkat perupa. Maka, ia biasa membaurkan karya perupa muda dan perupa tua yang telah populer dalam satu pameran.
"Saya ingin membangkitkan perupa yang tidak dilirik galeri lain, tetapi memiliki dedikasi," katanya.
Selain menyediakan ruang pamer untuk seniman, Tubagus Svarajati mendirikan Rumah Seni Yaitu juga untuk tempat diskusi para seniman muda. Meski memiliki potensi seni yang kuat, Semarang masih membutuhkan lembaga yang mampu mengasah kreativitas dan gagasan para seniman muda. "Semarang hanya punya Universitas Negeri Semarang yang memiliki program studi seni, tetapi saya rasa masih kurang," kata Tubagus.
Di Rumah Seni Yaitu, Tubagus membuka kesempatan bagi semua seniman untuk menggelar karyanya. Bahkan, seniman yang belum memiliki karya bisa datang dan mendiskusikan gagasannya sebelum menggelar pameran.
Saat ini, Rumah Seni Yaitu menggelar 1-2 pameran seni setiap bulan atau 20 pameran seni dalam satu tahun. Selain pameran, Tubagus dan seniman yang sedang memamerkan karyanya juga membuka diskusi seni untuk umum.
Dengan diskusi itu, Tubagus berharap muncul komunitas-komunitas seni baru yang bersemangat menghidupkan kesenian di Kota Semarang. "Rumah Seni Yaitu tidak sekadar memamerkan karya seni, tetapi tempat ini juga harus menjadi tempat bagi para seniman untuk berproses," ujarnya.
Tanpa misi dan jejaring yang kuat, kata Tubagus, sebuah rumah seni tak dapat bertahan lama. "Beberapa rumah seni di Semarang telah melupakan hal itu," kata Tubagus.
Menurut pemilik Kampung Seni Lerep, Handoko, pengelola galeri harus berani bermain di ranah "kering" untuk menampilkan karya para seniman yang belum terkenal, tetapi memiliki potensi. Alhasil, meski ada beberapa karya yang terjual, Handoko mengaku masih harus tombok.
"Untuk operasional harus nombok sampai Rp 9 juta per bulan. Namun, kalau memang cinta seni, memang harus mau," katanya.
Galeri juga harus menampilkan komunitas di sekitarnya dan mencoba mengangkat kesenian yang belum terkenal. Pekan lalu, Kampung Seni Lerep mencoba menampilkan hal itu dengan menyelenggarakan Wonosobo Night. Kesenian yang ditampilkan justru sebagian sebelum banyak dikenal masyarakat. (ILO/DEN/GAL)
Sumber: Kompas, 20 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar