Selasa, 04 Agustus 2009

iCAN dan Pasar yang Terdidik

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 00:18


Sebuah institusi manajemen seni rupa pada dasaranya menjembatani proses kreatif sang perupa dengan aspek publiknya baik dalam artian pasar maupun medan sosial seni rupanya. Satmoko Budi Santoso dan Deni Junaedi mengulas profil iCAN sebagai salah satu contoh kinerja manajemen seni rupa yang marak berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.



Kondisi carut-marut dunia seni rupa Indonesia menggugah Antariksa, Titarubi, dan Enin Supriyanto mendirikan sebuah lembaga yang mencerdaskan. Mereka ingin mewujudkan lembaga yang tidak saja mementingkan keuntungan materiil, melainkan juga dapat meningkatkan pengetahuan berkesenian. Ketiganya tidak ingin dunia seni rupa hanya dijejali produksi karya seni rupa tanpa diiringi peningkatan wacana. Maka, mulai akhir tahun 2007, tiga tokoh yang telah lama berkiprah di dunia seni rupa itu sepakat mendirikan iCAN: Indonesia Contemporary Art Network.

“Kenapa sekarang ini niatan utama elemen-elemen pendukung kehidupan seni rupa cenderung didorong alasan duit?” gugat Antariksa selaku Direktur iCAN. Ia melihat, sistem manajerial yang dilakukan galeri-galeri merugikan perupa. Yang ada hanyalah obsesi bikin pameran. Ia kecewa terhadap galeri yang mengambil persentase begitu besar dari para perupa, hingga 40%. Padahal, menurut dia, kontribusi mereka tidak banyak, kecuali hanya menghubungkan seniman dengan kolektor. Kontribusi secara intelektual untuk kegiatan seni terhitung rendah. Menurut Antariksa, berbeda dengan iCAN yang hanya mengambil untung 5%, tentu keuntungan tersebut tidak termasuk biaya kegiatan pameran yang kalau ditotal bisa mencapai 30%.

Kekecewaannya melebar sampai pada keberadaan kurator yang dianggap belum bersungguh-sungguh bekerja sebagaimana mestinya. Miskinnya dialog antara kurator dan perupa adalah kondisi yang buruk. Keadaan ini diperparah dengan kurator yang kurang fokus pada profesinya. Mereka masih nyambi pekerjaan lain, termasuk berjualan karya. Sebenarnya Antariksa bisa memahami, hal itu terjadi karena bayaran kurator di Indonesia masih sangat rendah. Konon, iCAN berani membayar kurator paling tinggi di Indonesia.

Kehidupan pendidikan seni juga tidak kalah mengkhawatirkan. Menurut pria lulusan Filsafat UGM itu, mahasiswa seni yang telah masuk dalam kancah pasar akan merusak proses pendidikan berkeseniannya. Mereka akan direcoki urusan-urusan finansial yang seringkali bertentangan dengan idealisme pendidikan. Mahasiswa seni yang berurusan dengan pasar, menurut dia, telah rampung sebagai mahasiswa. Pria yang sering melancong ke mancanegara itu mencontohkan yang terjadi di negara-negara yang lebih maju. Di sana, mahasiswa belum dapat menggelar pameran komersial di galeri.

Pendidikan seni yang ada di sekolah dasar dan menengah juga belum mampu meningkatkan apresiasi para siswa terhadap kesenian. Kurikulum yang diajarkan tidak berkembang. “Seniman yang dicontohkan hanya itu-itu saja, ” ungkap Antariksa.

Belum lagi jika menengok perilaku kolektor yang langsung mendatangi rumah para perupa. “Bayangkan kalau kolektor langsung datang ke seniman. Bukankah karya seni itu tidak sempat sampai ke tangan publik? Publik tidak sempat melihat, tahu-tahu sudah ada di tangan kolektor. Lantas, tanggung jawab seniman kepada publik apa? Bagaimana publik akan tahu perkembangan karya si seniman?” ujar Antariksa.

Masih banyak carut-marut kehidupan seni rupa di Indonesia yang diungkapkan Antariksa. Penelitian seni rupa yang sangat jarang dan dikerjakan dengan tidak serius juga menjadi kendala berarti. Kritikus seni rupa pun dinilai belum menjalankan tugasnya secara komprehensif. Apalagi, banyak perupa yang tidak punya waktu untuk berpikir, belajar, membaca, dan berdiskusi.

iCAN Mencoba Obati Gundah

Kegundahan atas kondisi itu ingin dijawab iCAN lewat kerja nyata. Semangat itu dapat dilihat di situs resminya yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, yakni di www.canmanage.net. Di sana tertulis: “Indonesia Contemporary Art Network (iCAN) bekerja membentuk jaringan, mengembangkan dialog dan kerja sama yang kritis di antara elemen seni rupa kontemporer Indonesia, mengorganisasi pameran, mendorong perkembangan penelitian dan kritik seni.”

Lembaga yang belum diluncurkan secara resmi ini ingin menjembatani berbagai pelaku di dunia seni rupa, baik seniman, galeri, kurator, kritikus, penulis, peneliti, akademisi, kolektor, media, maupun yang lainnya. iCAN ingin elemen art world itu tidak berjalan dalam kepentingan-kepentingannya sendiri.

Totalitas pekerjaan pun dikedepankan: dari menemui seniman, membantu pekerjaan kurator seperti riset pada subjek tertentu, membicarakan konsep, sampai mempersiapkan hal-hal teknis. Singkatnya, lembaga yang beralamat di Jalan Minggiran Baru MJ II/962, Yogyakarta, ini ingin terfokus mengimplementasikan praktik manajerial yang sistematis, sesuai dengan tuntutan profesionalisme. Harapan iCAN, kehidupan berkesenian dan pasar yang terdidik akan tercipta. Semuanya itu bermuara pada posisi seniman yang bisa mendapatkan keuntungan lebih dari yang selama ini diterapkan di Indonesia. Meskipun Antariksa tahu, “Itu susahnya setengah mati.”

Sistem kehidupan seni rupa yang baik tentu lebih memungkinkan terciptanya pasar yang terdidik. Kolektor pun tak ikur terdidik: paham di mana posisinya dan tidak akan main-main harga. Dalam sudut pandang iCAN, jenis pasar yang bisa menjaga kualitas adalah jika kenaikan harga sejalan dengan kenaikan kualitas. Ia masih melihat pasar yang sedemikian ngawur, karya yang jelek tetapi harganya mahal.

Gagasan-gagasan ideal itu diterapkan pada Abdi Setiawan, salah satu perupa yang berada di bawah manajemen iCAN. Abdi ingin menggarap isu tentang anjing. Setelah melewati proses dialog intensif, iCAN pun mencarikan buku-buku perihal anjing sebanyak-banyaknya sebagai referensi. Tak hanya itu. iCAN juga mencari bahan yang paling cocok untuk patung Abdi. Kayu yang selama ini digunakan pematung Indonesia kebanyakan akan retak dan terserang jamur ketika berada di negara yang mengenal empat musim. Itulah salah satu tugas berat untuk memecahkan persoalan kayu bagi patung-patung Abdi Setiawan. Sudah pasti iCAN juga mengerjakan hal-hal teknis lainnya, seperti manajemen pemasaran, surat-menyurat, dokumentasi, packing, pengiriman, hingga pengurusan pajak.

sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: