Selasa, 04 Agustus 2009

Seni Rupa Kontemporer: Lebih Segar, Lebih Kritis

Kalau ingin melihat wanita-wanita dengan tas dan sepatu mahal, jangan ke fashion show , tapi ke art fair. Sebuah media memberikan petunjuk kenes itu ketika berlangsung Art Basel di Miami, Florida, AS, akhir tahun lalu.

Memang demikian. Di hajatan seni rupa di mana saja, baik di Amerika, Eropa, Asia, mudah ditemui kalangan atas masyarakat berikut simbol konsumsinya yang wah dari pakaian, tas, sepatu, berikut kasak-kusuk dan gosipnya. Pada fashion show barangkali yang ditemui di acara cocktail adalah model yang usai memeragakan busana hanya mengenakan sepatu trepes dan jins. Dalam hajatan seni rupa semacam art fair ataupun biennale, yang muncul adalah para konsumen dari dunia konsumsi yang digelar di fashion show maupun butik-butik terkemuka.

Seni rupa sebagai bagian konsumsi kalangan atas, tak ayal, juga menjadi bagian dinamika kota besar seperti Jakarta. Sebagaimana ditengarai oleh para pengamat pasar (art market) tentang munculnya pembeli karya-karya seni kontemporer sekarang oleh kalangan menengah baru di mana-mana, di Jakarta pun demikian.

”Jumlah kolektor sekarang semakin banyak,” kata Hauw Ming, Ketua Asosiasi Pencinta Seni Indonesia (ASPI). ”Ada gelombang kolektor muda. Mereka ini umumnya pengusaha muda atau para karyawan di perusahaan asing yang punya gaji besar, suka jalan-jalan, dan bergaya hidup urban.”

Lebih segar

Beberapa nama yang ditampilkan di sini barangkali secara lebih khusus bisa memperlihatkan hubungan antara seni rupa kontemporer dan kalangan atas urban. Di kediaman perancang terkenal, Edward Hutabarat (50), di bilangan Cilandak, Jakarta, bisa dilihat karya-karya pelukis kontemporer seperti Galam Zulkifli, Yayat Surya, Didik Nurhadi, Dipo Andi, dan Diyanto. Dulu, dia juga mengoleksi lukisan-lukisan yang disebut karya old master seperti Srihadi Soedarsono dan Basuki Abdullah. Tetapi, kemudian sudah dijual semua, dan kini diganti dengan karya para seniman muda tadi.

”Seniman-seniman muda ini lebih segar, lebih kritis, dan mewakili semangat zaman sekarang. Saya ingin hidup di tengah kebudayaan paling terkini,” kata Edo, panggilan akrab Edward Hutabarat.

Edo memperlihatkan koleksi lukisan ”Andai Bangsa Ini Bersatu” karya Galam. Lukisan itu menggambarkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sedang melengos, saling memunggungi, tidak saling memandang. ”Lukisan ini dibuat tahun 2004, tetapi masih tetap aktual sampai sekarang,” Edo menerangkan.

Ia cukup hafal judul, pembuat, bahkan tahun pembuatan lukisan di luar kepala. Dia fasih menjelaskan pesan dan gaya lukisan yang dikoleksinya. Ia serius mempelajari gaya setiap pelukis dan karya-karyanya.

Lihat pula kediaman pesohor Anjasmara (32) di bilangan Kemang. Cita rasa bintang suami Dian Nitami yang tecermin di kediamannya di atas tanah seluas lebih dari 2.000 meter persegi menakjubkan. Dia punya minat besar terutama terhadap barang-barang antik. Lahan itu menjadi tempat berdiri beberapa bangunan yang direkonstruksi dari kayu-kayu jati lama.

Kesukaan atas barang antik yang diwarisi dari ibundanya itulah membawa Anjasmara pada dunia seni rupa. Dari wayang beber kuno sampai beberapa karya perupa kontemporer bisa ditemui di rumahnya. Bahkan, ia memperlihatkan beberapa karya master dunia yang baru beberapa hari diperolehnya, meski dia merasa masih bakal perlu memeriksa autentisitasnya. ”Untuk memeriksa ini autentik atau tidak harus ke Perancis,” kata Anjas.

Di antara beberapa karya perupa masa kini yang terpajang di dindingnya, antara lain karya Diyanto, Dipo Andi, Saiful, Teguh Ostenrik, dan lain-lain, ia mengaku yang sangat disukainya adalah karya Dipo Andi yang berjudul ”Peta Indonesia Baru”. ”Ini,” kata Anjas menunjuk lukisan di belakangnya. ”Kalau melihat peta ini, sesuai jangka Jayabaya, katanya Nusantara ini akan terpecah,” ucapnya.

Model

Jenny Rachman (50), bintang film top tahun 1970-an, punya cerita tersendiri dengan beberapa lukisan yang dimilikinya. Ia mengoleksi 50-an lukisan modern dari pelukis-pelukis lama, seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Amri Yahya, Mochtar Apin, maupun Jeihan. Koleksi pertamanya, karya Basuki Abdullah dengan model si aktris herself. ”Saya dapat dispensasi harga karena mau jadi model,” katanya tertawa sumringah di kediamannya di Jalan Kayu Tengah Raya.

Yang menjadikan Jenny sebagai model bukan hanya Basuki Abdullah, tetapi juga Jeihan—pelukis yang katanya sangat disukainya. Beberapa kali dia menjadi model Jeihan. Katanya, ”Saat melukis saya, Jeihan bisa menangkap sesuatu hal yang berada di balik penampilan. Dia bisa menangkap kegelisahan saya waktu harus berpisah dengan anak selama 11 tahun,” ceritanya.

Bagaimana tanggapannya terhadap karya-karya perupa masa kini, yang sering disebut kontemporer? ”Mengoleksi itu, kan, seperti panggilan atau ketersambungan. Saya merasa belum nyambung dengan lukisan kontemporer. Mungkin nanti ya....”

Ketersambungan hati ini yang lebih kurang juga diucapkan penyanyi Connie Constantia (46), yang kini bertekad untuk terjun ke dunia tarik suara lagi setelah beberapa tahun absen. ”Pokoknya suka, langsung saya beli,” katanya. Di rumahnya di kawasan Kemang, masih ada beberapa lukisan yang tersimpan dalam bungkus karton.

Beberapa karya yang menghiasi dindingnya umumnya berhubungan dengan ekspresi kristiani, meski ada juga lukisan potret karya Dullah. Di dinding belakang di dekat kolang renang, terpampang karya Galam Zulkifli, berbahan cat minyak hitam putih menggambarkan figur yang merentangkan tangan.

Lukisan ini juga didapat berdasar impuls spontannya ketika melihat lukisan itu pada sebuah acara di suatu galeri di Sanur, Bali. Di tengah acara pesta itu, ketika ia menunjukkan minatnya pada lukisan tersebut, si pemilik galeri langsung mengiyakan sambil menyebut harga. ”Harga mabuk...,” kata si pemilik galeri waktu itu. Dan Connie langsung memboyongnya. (IAM/BRE)

Sumber: Kompas, 26 April 2009
http://cetak.kompas.com/


Tidak ada komentar: