Selasa, 04 Agustus 2009

Spirit Kekinian

Boleh dibilang, Jakarta Biennale XIII 2009 ini adalah salah satu biennale terbaik yang pernah diselenggarakan di Indonesia—tentu dengan catatan beberapa kekurangan. Pencapaian ini merupakan hasil dari perjalanan biennale lebih dari 30 tahun, serta respons atas dinamika seni rupa Indonesia.

Merujuk pengantar pameran Jakarta Biennale (JB) 2006 dan pengantar katalog JB 2009 (tulisan Direktur Eksekutif JB M Firman Ichsan), biennale pertama kali diselenggarakan tahun 1974. Namun, pameran itu dianggap terlalu memihak estetika lama sehingga memicu protes dari kelompok seniman muda yang mengusung pembebasan kreativitas seni rupa. Mereka tergabung dalam gerakan Desember Hitam 1974, kemudian Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975.

Dalam JB tahun 1987 dan 1989, Dewan Kesenian Jakarta membuat semacam kompetisi untuk mencari pelukis muda yang membawa kesegaran. Pada JB IX tahun 1993 dengan kurator Jim Supangkat, cakupan seni lukis diperluas menjadi seni rupa. Karya seni instalasi, video art, dan performance art mendapat tempat.

Pada tahun 1996 dan 1998 JB kembali mengangkat seni lukis. Pada tahun 2006 digelar Jakarta Biennale XII di lima tempat terpisah: Taman Ismail Marzuki, Galeri Nasional, Museum Seni Rupa dan Keramik, Galeri Lontar, dan Galeri Cemara 6. Pameran menampilkan seni media baru, seni rupa modern, dan sejumlah karya perupa asing yang tinggal di Indonesia.

Tahun 2009 ini DKJ mencari format lebih segar dengan masukan dari sejumlah kurator dan pengamat seni rupa. ”Hasilnya, perlu biennale independen, berkecenderungan estetik terkini, bebas kepentingan pasar, sehingga jadi barometer perkembangan seni rupa,” tulis Firman Ichsan.

September 2007, disebarkan undangan kepada para kurator untuk memasukkan usulan proposal. Terpilihlah proposal Agung Hujatnikajennong sebagai kurator utama untuk ”Zona Cair” yang menggelar pameran berskala internasional di Galeri Nasional dan Grand Indonesia Shopping Town. Dengan tema utama ”Arena” yang dilengkapi ”Zona Pemahaman” dan ”Zona Pertarungan”, JB 2009 mengangkat persoalan-persoalan seni rupa, masyarakat, dan pergeseran makna ruang publik di kota.

Bagaimana hasil JB 2009? ”Menarik, karena biennale ini punya konsep, pelaksanaan, dan presentasi karya pameran yang pas dengan spirit kekinian. Di tengah kejenuhan pada dominasi lukisan yang mengacu pasar, biennale ini menampilkan karya-karya yang kita cari: baru, muda, bersemangat perubahan, dan berorientasi internasional,” kata Rizki A Zaelani, pengamat seni rupa dari ITB Bandung. (iam)

Sumber: Kompas, 8 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/


Tidak ada komentar: