Selasa, 04 Agustus 2009

Tandatangan dalam Senirupa Kontemporer:
Penanda Seniman Berkarya atau Penanda Karya Berseniman


Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto oleh: Farah Wardani).

Sekadar Pengantar

“Bip-bip,” suara telpon seluler Nokia menandakan satu pesan diterima di ponsel Angki. Fotografer kelahiran Semarang, 1971, ini setengah tertawa menceritakan pesannya kepada saya. “Ini Nizam. Masak dia mau minta tandatanganku buat karyaku yang dulu salah ukuran, buat pameran. Yah, emang aku biarin buat dia aja sih,” jelas Angki sambil tetap tersenyum.

Eh, lucu juga, pikir saya. Belum pernah saya melihat karya fotografi dibubuhi tandatangan senimannya. Belum pernah juga saya membaca literatur perihal pentingnya tandatangan dalam fotografi sebagai sebuah karya seni. Dengan kepercayaan bahwa Google adalah jendela dunia, saya langsung mencari-cari perihal tandatangan dalam karya fotografi. Berhalaman-halaman hasil pencarian Google saya dengan beberapa kata kunci tidak membuahkan hasil. Di tengah zaman (yang sering disebut) post-modern dan setelah hampir dua abad suksesnya gerakan art for art’s sake[1] yang sampai hari ini masih terus dikutip (entah untuk benteng pertahanan lemahnya esensi dalam berkarya atau karena benar-benar menganut kepercayaan gerakan tersebut), saya pikir sekarang seharusnya era keemasan the author is dead ala Roland Barthes. Pernyataan yang petama kali disebutkan dalam artikelnya di jurnal Aspen ini menarik.[2] Saya, yang percaya pada pernyataan Barthes, kemudian tertarik menulis tentang kejadian ini.

Beberapa waktu lalu, Angki pernah memberikan sebuah hasil cetakan karya fotonya yang salah ukuran kepada Nizam. Walaupun salah ukuran, foto itu, kalau mau, bisa saja tetap diperlakukan sebagai sebuah karya. Lagipula, esensinya sebagai karya, toh, tetap sama. Angki memberikannya tanpa beban apa-apa dan tetap memamerkan foto yang sama, namun dengan ukuran yang tepat. Menurut saya, fotografi sudah memiliki kesadaran yang tinggi akan reproduktivitasnya, sehingga tidak perlu pusing dengan probabilitas adanya foto --walaupun sebagai karya seni-- yang dicetak ulang atau difoto ulang oleh orang lain. Ditandatangani atau tidak, tidak mengurangi esensi apapun dari sebuah foto tersebut sebagai karya seni.


Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto oleh: Farah Wardani).

Sejarah singkat fotografi dari perspektif senirupa
Fotografi adalah hasil penggabungan beberapa penemuan teknis; Ibn al-Haytham (965-1040): kamera obskura dan pinhole, Albertus Magnus (1193-1280): nitrat perak, dan Georges Fabricius (1516-1571): klorida perak. Daniel Barbaro menjelaskan logika diafragma pada 1568. Wilhelm Homberg, pada 1694, menjelaskan bagaimana cahaya dapat mempergelap beberapa jenis kimia (efek photochemical). Sebuah buku fiksi oleh pengarang Perancis, Giphantie, bahkan sudah mengisahkan fotografi. Foto permanen pertama diproduksi pada 1826 oleh Nicéphore Niépce. Foto tersebut menghabiskan delapan jam untuk exposure, sehingga ia mencari cara lain untuk memprosesnya. Bekerjasama dengan Louis Daguerre, mereka bereksperimen dengan silver compound penemuan Johann Heinrich Schultz, pada 1724, dan pencampuran kapur yang menggelapkan pada saat diekspos ke cahaya.

Fotografi diperkenalkan kepada dunia pada 18 Agustus 1839 dalam forum pertemuan Academy of Science dan Academy of Fine Arts di Paris. Perkembangan teknologi foto pada saat itu dibiayai dan didukung oleh negara. Pihak swasta juga antusias dalam berpartisipasi menyokong penelitian-penelitian eksperimen fotografi dengan dasar pemikiran komersil.[3] Penggunaan awalnya yang bersinggungan dengan senirupa adalah untuk mereproduksi karya-karya senirupa. Reproduksi karya-karya senirupa ini ditujukan untuk memperluas apresiasi publik terhadap senirupa. Fotografi awalnya adalah sarana pengimitasian senirupa.

Fungsi reproduksi karya senirupa lebih sering digunakan untuk patung dan arsitektur daripada lukisan. Alasannya mudah: Bahan-bahan kimia pencetakan foto awalnya kurang sensitif dalam hal warna. Sejumlah pelukis memanfaatkan fotografi untuk memfoto model gambarnya. Namun, akhirnya fotografi dinilai kurang imajinatif dan kurang berjiwa. Perkara memotong waktu menjadi ruang, dalam terminologi Susan Sontag[4], sudah menjadi masalah sejak awal. Fotografi kemudian disebut ‘dingin’, kosong, dan tidak ‘berperasaan’ (soulless).

Sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe, adalah orang pertama yang menyebutkan bahwa fotografi jelas lebih akurat dalam hal representasi dibandingkan dengan lukisan tangan manusia manapun.[5] Entah pernyataan Poe yang mengompori kebencian sejumlah pelukis kepada fotografi atau, sebaliknya, pernyataan tersebut justru dilontarkan Poe karena melihat ketakutan pelukis. Yang pasti, setelah pernyataan Poe dimuat dalam The New Yorkers, perdebatan sengit mengenai fotografi dan seni lukis muncul dimana-mana. Mulai dari pelukis yang mengatakan bahwa fotografi bahkan lebih buruk daripada seni imitasi, karena jelas difungsikan untuk mengimitasikan (Baca: Mereproduksi dalam bentuk visual) senirupa; sampai ke fotografer yang menyatakan bahwa hasil foto jelas lebih detil dan jujur dalam merepresentasikan (Baca: Menggambarkan) fenomena alam.

Seorang pelukis yang juga fotografer, Gustave Le Gray, pada 1851 bereksperimen dengan fotografi sebagai karya seni. Ia mengolah beberapa negatif film, memotong, menggabung-gabungkan potongannya dalam satu cetakan, dan mencoba mencetaknya di atas beberapa jenis kertas. Eksperimennya merupakan titik awal disinggungnya High Art Photography.[6] Wacana fotografi sebagai sarana publikasi karya senirupa pun pudar bersama dengan waktu. Menurut saya, di sinilah awal mula pemosisian fotografi dalam ranah senirupa.


Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto oleh: Farah Wardani).

Senirupa ‘Atas’, Tandatangan, dan Identitas
Dalam dunia akademik maupun praktik, senirupa kerapkali diasosiasikan sebagai senirupa ‘atas’ --istilah saya merujuk pada pemikiran senirupa atas dan bawah. Istilah senirupa atas pertama kali digunakan oleh Sanento Yuliman.[7] Istilah ini tidak hanya terbatas pada lukisan dan patung (seperti bagaimana akan saya gunakan selanjutnya), tetapi juga mencakup desain, dan kriya --apapun bentuk senirupa yang pasarnya besar, sehingga usaha dan modalnya besar. Namun, kata ‘seni’ dalam bahasa Indonesia erat digunakan dalam konteks seni murni (dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] dalam jaringan) yang juga lekat dengan konsep adiluhung Jawa. Apa yang termasuk seni murni dalam senirupa (lagi-lagi) terbatas pada seni lukis dan patung, mengingat definisinya adalah bentuk karya seni apapun yang tidak fungsional.

Akibatnya, cara pandang orang awam terhadap senirupa sering ‘terkotakkan’ dengan bagaimana melihat senirupa ‘atas’, yaitu lukisan dan patung. Kenyataan bahwa senirupa dalam KBBI dalam jaringan disebutkan hanya seni lukis dan seni pahat[8] seolah mendukung pengategorisasian Sanento --berbeda dengan High Art Photography yang sangat memungkinkan untuk direproduksi berulang-ulang kali. Senirupa ‘atas’ ini justru mengistimewakan eksklusivitasnya. Karyanya hanyalah satu-satunya.

Menurut saya, karena fenomena senirupa ‘atas’ itulah karya senirupa lainnya dianggap angin lalu, seperti misalnya seni grafis, walau dalam beberapa institusi seni tergolong seni murni. Seni grafis adalah salah satu cabang senirupa yang mempunyai similaritas dengan fotografi. Keduanya menghasilkan karya yang reproduktif. Perbedaan fotografi dengan seni grafis, menurut saya, adalah masih terbebannya seni grafis sebagai cabang dari senirupa. Ketunggalan karya senirupa ‘atas’ seperti menghantui seni grafis yang reproduktif. Padahal, menurut Hafiz, ketidaktunggalan grafis harusnya tidak diperlakukan sebagai kekurangan sebuah karya seni, tetapi justru sebagai sebuah kelebihan. Ia juga berpendapat bahwa seni grafis dari awalnya memang berhubungan erat dengan teknologi. Sehingga, seiring berkembangnya teknologi, medium ini seharusnya semakin maju.[9] Bahkan, sampai sekarang, para pegrafis dari generasi ke generasi masih harus berulang-ulang kali mengalami krisis identitas (perihal laku dan tidaknya karya grafis yang tidak tunggal dalam ranah senirupa).[10] Karya-karya seni grafis, dalam kenyataannya, dinumerisasi dan ditandantangani para senimannya dengan dasar pemikiran dan sikap yang sama pada pelukis dan tandatangannya.[11]

Para senirupawan, semenjak duduk dibangku sekolah, memang akrab dengan tandatangan. Konon, para pengajar di institusi seni belum mau berpendapat terhadap sebuah karya, dalam konteks tugas, yang belum ditandatangan. Alasannya semudah: Tandatangan diperlakukan seperti titik dalam sebuah kalimat; sebagai penanda bahwa karya tersebut sudah selesai. Menandatangani karya dalam senirupa ‘atas’ adalah sebuah pernyataan bahwa karya tersebut sudah tidak lagi dalam proses.[12] Tandatangan memang akhirnya bukan sebuah keharusan. Namun, jelas, tandatangan menjadi penanda siapa senimannya.

Posisi tandatangan, selain sebagai ‘titik’ tadi, adalah sebagai penanda identitas senimannya. Jadi, apabila ada tiga buah patung Sudirman dengan gaya yang berbeda-beda, masing-masing bisa dibedakan melalui tandatangannya. Seharusnya, tandatangan dalam karya seni tidak menjadi sarana penaik harga sebuah karya. Esensi karya, toh, ada pada karya itu sendiri, bukan senimannya.


Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto oleh: Farah Wardani).

Identitas fotografer dan fotografi dalam (lagi-lagi) boom senirupa ‘atas’
Para fotografer bukanlah pelukis (atau pematung) yang akrab dengan tandatangan. Walau dalam salah satu eksperimennya Le Gray pernah menggoreskan, secara manual, fotonya dalam proses pencetakannya sehingga setiap hasilnya berbeda[13] --memiliki sentuhan personal--, para fotografer, sejak awal, sadar karya mereka bisa saja dicetak berkali-kali. Berkebalikan dengan senirupa, reproduktivitas bersifat given dalam dunia fotografi. Sehingga identitas fotografer dalam karyanya adalah karya (ide, proses, produksi, dan esensinya) itu sendiri, bukan pada tandatangan yang akhirnya mengacu pada sentuhan personal tadi. Reproduktivitas sama sekali bukan isu dalam fotografi, terutama fotografi jurnalistik, model, produk, dan lansekap. Dalam fotografi sebagai karya seni, identitas senimannya ada pada caption dan ruang pamernya. Sementara dalam fotografi jurnalistik, identitas fotografer terletak pada hak cipta.

Walau dalam aspek reproduktivitas fotografi sama dengan seni grafis, sikap para fotografer terhadap numerisasi/cap/tandatangan sangat berbeda. Darwis Triadi membubuhkan cap dalam karya-karyanya; Ruang MES 56 dalam edisi cetakan foto 2nd POSE memberikan stiker sebagai penanda edisi cetakan ke berapa; dan beragam upaya serupa lainnya terjadi dalam dunia fotografi kontemporer. Fotografi sebagai karya seni menggunakan numerisasi atau sistem edisi dalam penjualan karyanya yang sudah dicetak atas alasan eksklusivitas para pembeli. Bukan karena keterikatan dengan senirupa ‘atas’.

Dua tahun belakangan ini, senirupa ‘atas’ sedang ‘panas’.[14] Sementara karya Affandi rata-rata berharga 150 juta rupiah, sebuah karya seniman muda angkatan 90-an ada yang berharga 200 juta rupiah dan diantri oleh 200 nama calon pembeli dalam sebuah lelang.[15] Di Yogyakarta, dalam satu minggu Anda bisa menemukan paling sedikit dua pembukaan pameran di galeri-galeri komersil, yang tumbuh pesat semenjak awal 2007, setiap minggunya. Dua tahun belakangan ini memang bagus untuk berbisnis apabila ditilik dari astrologi Cina. Tahun babi, 2007, memang tahun peristirahatan yang pasif, menyimpan kenikmatan, sensualitas, dan kesenangan duniawi, walau naïf.[16] Sementara, 2008 adalah tahun tikus penuh harapan dan potensial untuk perkembangan finansial, sosial, dan global.[17]

Di awal tahun penuh harapan ini, Ruang MES 56, sebuah komunitas fotografi kontemporer mengadakan sebuah pameran bertajuk 2nd POSE. Pameran presentasi awal dari sebuah proyek panjang pendokumentasian secara visual seniman se-Indonesia ini diadakan di Jogja Gallery. Rencana Ruang MES 56 adalah membukukan arsip foto tadi perkota, dengan Yogyakarta, selaku kota seni dan budaya, sebagai pilot-projectnya. Sebanyak 30 seniman dipotret dengan latar ruang kota Yogyakarta dalam 23 foto. Proyek jangka panjang ini merefleksikan keseriusan Ruang MES 56 dalam berkarya dalam ranah senirupa kontemporer dengan fotografi sebagai media. Pilihan yang jarang dan nyaris tak ada di Indonesia.

Selama ini, pameran fotografi di Indonesia identik dengan foto jurnalistik, model, produk, atau lansekap. Galeri Foto Jurnalistik Antara, pada 1999, pernah menggelar pameran fotografi yang ‘bebeda’ Revolusi #9. Penggerak dan persertanya adalah fotografer-fotografer muda kala itu, termasuk para pelopor Ruang MES 56. Pameran kolektif ini menawarkan kebaruan-kebaruan eksplorasi media yang menggebrak dunia fotografi dan senirupa kontemporer.


Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto oleh: Farah Wardani).

Angki Purbandono dan karya-karyanya
Angki Purbandono, salah satu founding-father Ruang MES 56, dikenal sebagai salah satu senirupawan yang secara konsisten mengeksplorasi fotografi kontemporer. Sejak awal ketertarikannya dalam dunia fotografi, pada 1994, Angki secara intensif menggunakan fotografi sebagai medium pembacaan, perekaman, dan interaksi dengan keseharian di sekitarnya dengan konsentrasi persoalan urban. Hasil akhirnya, secara visual, adalah sebuah pernyataan atau presentasi terkini kepada publik. “[…] aku tidak terikat dengan hanya cetak foto dan berbingkai saja, tapi bisa dengan penggabungan media-media lain seperti instalasi dan video,” jelas Angki.

Angki bersama teman-temannya, cikal bakal Ruang MES 56, mulai aktif berpameran sejak 1997, di sebuah rumah kos. Pada 1999, untuk pertama kalinya Angki menggelar pameran tunggal bertajuk Kolasmaniac di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta yang disusul dengan pameran My Brain Package di Center Culturel Francais Jakarta. Angki juga terlibat dalam sebuah pameran bersama bertajuk Road/Route di Pocheon Asian Art Festival yang pertama pada akhir tahun 2005.

September 2006, Angki menyelesaikan program residensi Open Studio di Changdong Art Studio Seoul di Korea Selatan selama satu tahun dan diakhiri dengan sebuah pameran tunggal bertajuk, Industrial Fiesta. Dalam Landing Soon #1, 2007, Cemeti Art House, Yogyakarta, Angki hunting foto-foto tua, mengategorisasinya, menceritakan kembali tiap-tiap fotonya, dan akhirnya mengulang kembali momennya. Di tahun dan tempat yang sama, Anonymous #6 juga demikian, kumpulan foto-foto tua dan dikurasinya untuk dipamerkan. Pria yang pernah menjadi redaktur foto di Majalah MTV TRAX berhasil berkarya fotografi tanpa menjadi fotografer.[18]

Karya-karya pria kelahiran Semarang, 24 Sepetember ini memang eksploratif. Dalam proyeknya di ruangrupa, Top Collection (2004), Angki mengangkat tema foto-identitasmu-sendiri. Ia memotret dirinya dengan pose-pose yang paling sering Anda temukan dalam koleksi foto studio pada umumnya: bertoga saat wisuda dengan gambar latar rak buku, berpakaian hobi/profesi dengan backdrop yang senada, dan lainnya. Salah satu koleksi karyanya, Beyond Versace, memotret sejumlah orang gila di jalanan Yogyakarta sesuai dengan citra mereka yang dinilai Angki sebagai pernyataan diri. Super-simpel atau ekstra-ribet-atribut pakaian para orang gila ini dinilai Angki sebagai pilihan gaya busana yang, bahkan, melebihi Versace. Belum lama ini, 2nd POSE, dokumentasi visual seniman Indonesia (dimulai dengan Yogyakarta dan berikutnya adalah Bandung, Jakarta, Bali, dan seterusnya) digarapnya bersama Ruang MES 56. Sejumlah seniman Yogyakarta dengan latar belakang ruang publik kota didokumentasikannya menggunakan Holga bersama Eko Bhirowo dan Wimo Ambala Bayang, atas nama Ruang MES 56.

Kamis, 19 Juni 2008 ini Angki kembali berpameran tunggal. Kali ini Biasa Art Space, Bali, menjadi ruang pamernya. Pameran bertajuk Happy Scan ini dikuratori oleh Farah Wardani. Karya-karyanya kali ini dicetaknya sebesar billboard dan ditaruhnya dalam neon box. Konsepnya memang commercial break, ujar Angki. Bisa saja Anda melihatnya sebagai break berwacana terlalu global dan besar, break dari dunia kesenimanan, break dari pasar senirupa kontemporer yang sedang melelahkan.

Akhir-akhir ini tampaknya Angki sedang senang bereksperimen dengan pemindai (scanner) dan benda-benda yang ditemukannya. Dalam pameran tunggalnya ini, Angki menggunakan scanned-found-objects --lagi-lagi tanpa kamera. Mainan-mainan kecil, sampah, benda-benda fetish yang ditemukannya dikumpulkan, kemudian dipindai. Pada mulanya found-objects hanya ditata kemudian dipindai. Pindai atau scan, toh, sama dengan rekam --rasanya karena inilah mengapa Angki tetap mengategorikan karyanya sebagai karya fotografi.[19] Semakin ia mengeksplorasi karyanya, mulai dari komposisi sejumlah found-objectsnya hingga benda-benda tersebut ditata sedemikian rupa sampai memiliki ruang, kedalaman, bingkai, dan seterusnya. Menarik memang. Berpindah ke proses pemasangan karya di neon box, semakin berkembang juga karyanya. Angki mulai menghitung cahaya neon di dalam kotak, memilah bagian-bagian yang perlu lebih terang, dan yang mana yang perlu didramatisasi.

Kebermainan Angki dengan media dan karyanya ini menjadi suatu wacana baru yang menarik. Ditengah boom senirupa ‘atas’ yang dipenuhi dengan karya-karya berkecenderungan nuansa, eksplorasi, warna, garis, dan teknis yang serupa, karya-karya bermain seperti ini sangat menarik --minimal menurut saya. Posisi Angki yang berkesenian dengan eksplorasi menyenangkan dan bebas ini menjadi daya tariknya dalam pasar senirupa.


Farah Wardani, Angki Purbandono, dan Iin Theresia di Pembukaan Happy Scan di Biasa Art Space, Bali (Foto koleksi: Farah Wardani).

Tandatangan sebagai penanda: seniman berkarya atau karya berseniman?
Menurut saya, yang akhirnya membuat Nizam meminta tandatangan Angki adalah latarbelakangnya sebagai penikmat senirupa ‘atas’. Para penikmat senirupa ‘atas’ ini tentu sama akrabnya dengan para senirupawan ‘atas’ dengan tandatangan. Mereka jelas sadar nilai jual sebuah benda (apapun itu) yang dibubuhi tandatangan seniman ‘penting’ (entah bagaimana sekarang penting dalam berkesenian dinilai, karena jelas curriculum vitae bukan lagi patokan). Menurut Angki, Nizam meminta tandatangannya karena memerlukan eksistensi Angki dalam karya yang diberikannya. Keraguan saya adalah identitas Angki yang diperlukannya karena Angki adalah senimannya atau karena Angki adalah Angki, dengan segala atribut dan posisinya dalam dunia senirupa kontemporer.

Atas dasar latarbelakang Nizam dan kebutuhannya atas eksistensi Angki, kesimpulan saya tandatangan diperlukannya sebagai penanda kehadiran Angki, dengan semua atribut dan statusnya, dalam foto salah-ukurannya. Eksistensi Angki menjadi lebih penting daripada esensi karyanya. Dalam kasus ini, the death of the author ala Barthes dan lebih pentingnya pengertian pembaca terhadap karya (the birth of the reader) tidak berlaku.[20] Lebih penting kehadiran Angki, selaku senimannya (author-nya, dalam bahasa Barthes), daripada karya itu sendiri.

Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Subjektivitas manusia merupakan sesuatu yang orisinal dan tidak dapat diperlakukan sebagai faktisitas, sebagai ada-begitu-saja. Tekanan pada eksistensi ikut menempatkan subjektivitas manusia pada posisi utama sebagai suatu orisinalitas. Di lain pihak, prioritas terhadap eksistensi manusia merupakan suatu penyangkalan terhadap pemahaman realitas manusia sebagai produk teknik, seolah-olah realitas manusia menjadi ungkapan suatu realitas yang transeden. Esensi, atau hakekat manusia, tidak pernah dapat ditentukan (karena manusia mempunyai kebebasan untuk mengatakan tidak). Saat kehidupan berakhir, kebebasan pun berakhir. Maka eksistensi mendahului esensi juga menandakan bahwa eksitensialisme adalah humanisme.[21]

Humanisme ini seperti mematikan seluruh perjuangan gerakan art for art’s sake. Fenomena ini bahkan lebih menyedihkan ketimbang kenyataan bahwa seni dibuat untuk suatu fungsi atau tujuan tertentu, menurut saya. Art for art’s sake yang mati-matian berjuang untuk kebebasan berkesenian untuk seni itu sendiri landasannya adalah esensi dalam-karya dan dalam-berkarya. Menghadapi kenyataan bahwa sekarang eksistensi mendahului esensi dalam berkesenian, selesailah perjuangan art for art’s sake.

Sebenarnya, mungkin, keraguan saya bisa dengan mudahnya terjawab. Namun, alangkah menyenangkannya bisa melihat kembali apa yang mendasari keraguan saya melalui sejumlah literatur dan wawancara. Akhirnya, kesimpulan saya adalah: Nizam meminta tandatangan Angki karena memerlukan eksistensi Angki sebagai Angki didasari dengan latarbelakangnya sebagai penikmat senirupa ‘atas’. Apabila posisi Angki dalam senirupa kontemporer tidak seperti sekarang, Nizam tidak akan repot-repot memerlukan eksistensi Angki dalam karyanya, sebagus apapun karya itu. Sebaliknya, dalam kenyataan posisi Angki yang demikian, walaupun karya yang diberikan kepada Nizam adalah karya salah-ukuran (bisa jadi jelek dan cacat --entahlah). Eksistensi Angki dalam bentuk tandatangan menjadi lebih penting, bagi Nizam, daripada esensi karya itu sendiri.

Penutup
Sekian puluh tahun lalu, Marchel Duchamp pernah mengkritisi pasar senirupa dengan mendisplay sebuah urinoir yang ditandatanganinya dalam galeri. Kejadian ini memang bisa dinilai dari berbagai perspektif. Yang paling umum adalah pernyataan-pernyataan bahwa kemudian yang menjadikannya sebuah karya seni adalah ruang pamernya. Menurut saya, apabila disesuaikan dengan konteks pasar senirupa kontemporer, Fountain-nya Duchamp menjadi penting karena tandatangannya.[22] Mungkin beberapa waktu kelak, sebuah bangku tongkrongan yang dicorat-coret dan ditandatangani Agus Suwage bisa dijual dengan seharga motor baru. Coba bayangkan kalau --konon katanya-- palet seorang pelukis angkatan 90-an saja bisa dibeli kolektor seharga lukisan teman-teman seangkatannya pada umumnya?


***
Catatan kaki:
[1] Art for art’s (l’art pour l’art) adalah sebuah gerakan yang muncul pada awal abad ke-19 dengan pemahaman bahwa sebuah karya seni adalah untuk karya seni itu sendiri, tidak didaktis terhadap pesan moral, kegunaan/fungsi, atau apapun selain untuk karya itu sendiri. Art for art’s sake pertama kali dituliskan oleh Edgar Allan Poe dalam esainya tentang puisi.
Sumber:
Edgar Allan Poe, The Poetic Principle, USA: E. A. Poe Society of Baltimore, 1850 (Sumber: http://eapoe.org/works/essays/poetprnd.htm); http://en.wikipedia.org/wiki/Art_for_art's_sake; http://www.iep.utm.edu/a/art-ep.htm; http://plato.stanford.edu/entries/conceptual-art/; http://etext.lib.virginia.edu/cgi-local/DHI/dhi.cgi?id=dv1-18; http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodern_art

[2] Roland Barthes, “The Death of the Author” dalam jurnal Aspen Edisi ke 5+6, 1968.
Jurnal terbitan Phyllis Johnson pada 1965-1971 ini bisa diakses melalui internet (http://www.ubu.com/aspen/)

[3] Elemen-elemen primer fotografis mulai diproses dalam sebuah penelitian pada sebuah era dimana penelitian eksperimental untuk produk-produk aplikatif yang komersil didukung dan disponsori oleh kebijakan nasional dan nilai-nilai budaya. Pada 1830-an, para pengusaha swasta dan independen berinvestasi dalam penelitian-penelitian serupa untuk kepentingan masing-masing.
Sumber:
Mary Warner Marien, Photography, A Cultural History (Second Edition), London: Laurence King Publishing, 2006: 1-30, dan http://en.wikipedia.org/wiki/Photography

[4] Susan Sontag, On Photography, New York: Penguin, 1977.

[5] Mary Warner Marien, 2006: 28.

[6] High Art Photography penekanannya adalah penggunaan subjek yang memberikan pendidikan moral dan intelektual, seperti adegan dari alkitab dan penggalan-penggalan pementasan Shakespeare.
Sumber:
Mary Warner Marien, 2006: 90.

[7] Asikin Hasan, ed., Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Yayasan Kalam, 2001.

[8] se·ni(2) n 1 keahlian membuat karya yg bermutu (dilihat dr segi kehalusannya, keindahannya, dsb); 2 karya yg diciptakan dng keahlian yg luar biasa, spt tari, lukisan, ukiran; […] -- rupa seni pahat dan seni lukis; […] -- lukis seni mengenai gambar-menggambar dan lukis-melukis; -- pahat seni mengenai pahat-memahat (membuat patung dsb); […]
Sumber:
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

[9] Hafiz, “Seni Grafis Indonesia, dari Cukil Sampai Stensil”, pengantar pameran dalam Katalog Seni Grafis, dari Cukil Sampai Stensil, 2007.

[10] Lihat: Agung Kurniawan, “Subkultur Grafis, Tawaran untuk Memperlambat Kematian” dalam Katalog Jogja-Printmaking, 2007; FX Harsono dalam “Pengantar Kuratorial JPN” dan “Upaya Seni Cetak Grafis Menemukan Momentum Baru” dalam Katalog Jogja-Printmaking, 2007; dan Grace Samboh, “Melirik Beberapa Kegiatan Senirupa di Tahun Babi” dalam Surat (Newsletter Senirupa Indonesian Visual Art Archive), Edisi Juni 2008.

[11] http://painting.about.com/cs/careerdevelopment/a/signpainting.htm

[12] http://painting.about.com/cs/careerdevelopment/a/signpainting.htm

[13] Mary Warner Marien, 2006: 90-92.

[14] Sejauh saya menulis ini (Juni 2008), memang belum ada penelitian atau wacana apapun dari orang yang ‘berkompetensi’ (untuk dikutip secara ilmiah untuk kepentingan akademik) yang menuliskan tentang keadaan senirupa ‘atas’ sekarang. Fenomena laku-gila-gila-annya senirupa ‘atas’ ini saya tuliskan berdasarkan pandangan mata dan kenyataan tiba-tiba-‘kaya’nya sejumlah seniman muda dan tiba-tiba-banyaknya galeri yang menyediakan ruang bagi seniman-muda-bergaya-Cina.

[15] Pernyataan mengenai fenomena ini didapatkan melalui wawancara dengan salah satu panitia penyelenggara Biennale-Jogja 2007-2008 ⎯ atas nama kesopanan, namanya tidak saya tuliskan.

[16] Lihat http://www.chineseastrology.com/wu/pigyear.php

[17] Lihat http://chineseastrology.com/wu/ratyear.php

[18] Biografi Angki Purbandono ini dirangkum dari berbagai sumber, yaitu:
http://jpgmag.com/people/angkipu/stories; http://www.biasaart.com/artists.htm; http://www.facebook.com/event.php?eid=19433456813; http://www.kakiseni.com/articles/features/MDgyOA.html; http://q-nansha.blogspot.com/2006/10/q-n-about-residency-program.html; dan http://angkipu.mes56.com

[19] Mengingat inti dari fotografi adalah merekam atau mendokumentasikan, yang dilakukan Angki dengan foto-foto tua dan scanned-found-objects ini jelas fotografi. Uniknya, eksperimen fotografi Angki ini tidak memerlukan dirinya menggunakan kamera.

[20] Roland Barthes, 1968.

[21] Penjelasan ini dirangkum dari beberapa sumber, yaitu:
T. Z. Lavine, Dari Socarates ke Sartre, Terj. Andi Iswanto dan Debby Andrian Utama, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002: 309-354; http://www.iep.utm.edu/s/sartre-ex.htm; http://www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/exist/sartre.htm; http://plato.stanford.edu/entries/existentialism/; http://plato.stanford.edu/entries/existence/; http://en.wikipedia.org/wiki/Existentialism; dan http://faculty.frostburg.edu/phil/forum/Existentialism

[22] Untuk keterangan lebih lanjut tentang Marcel Duchamp, lihat:
1. Marjorie Perloff, 21st-Century Modernism: The “New” Poetics, Oxford: Blackwell Publishers, 2002.
2. Ensiklopedi Filsafat Online Stanford University:
• http://plato.stanford.edu/entries/conceptual-art/
• http://plato.stanford.edu/entries/art-definition/
3. Jaringan Wikipedia:
• http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodern_art
• http://en.wikipedia.org/wiki/Art
• http://en.wikipedia.org/wiki/Duchamp
• http://en.wikipedia.org/wiki/Modernism
• http://en.wikipedia.org/wiki/Conceptual_art
4. Beberapa artikel online lainnya:
• http://creativetechnology.salford.ac.uk/fuchs/modules/input_output
• http://entertainment.timesonline.co.uk/tol/arts_and_entertainment
• http://mitpress.mit.edu/catalog/item/default.asp?ttype=2&tid=11110
• http://www.museumofhoaxes.com/hoax/Hoaxipedia/Marcel_Duchamp/



sumber : http://gracesamboh.multiply.com/

Tidak ada komentar: