Selasa, 04 Agustus 2009

Yang "Mbentoyong" yang Keren, "Euy"...

Bayangkan jika seniman- kurator Asmudjo J Irianto yang sangat gaul itu tidak pake topi dan lupa berkacamata model anak band masa kini. Maka ia tampak sangat agraris pedalaman dan sama sekali tidak keren. Meski memaksakan diri setiap hari nongkrong di mal. Bayangkan pula jika pelukis kaya raya Nasirun yang pernah kuliah di ISI Yogyakarta tiba-tiba rapi, necis dan wangi serta menyetir sendiri mobil mewahnya. Keren bukan? Bukan seperti yang kita kenal selama ini hitam, dekil, gondrong awut-awutan, dan enggak pernah bisa nyetir. Tentu apabila Nasirun mau, bisa rajin ke salon untuk manicure-pedicure, spa, whitening, dan aneka perawatan lainnya. Bahkan ia bisa membayar kursus privat sekolah kepribadian, sekolah mengemudi, bahasa Inggris dan anger management sekaligus. Maka Nasirun tidak bakal ketahuan karakter agrarisnya meskipun sejatinya ia anak petani pedalaman.

Kampungan atau ndeso atau penampilan agraris sudah bukan saatnya lagi diperbanding-bandingkan dengan kota yang keren, gaul, cool atau semacamnya, apalagi ketika membicarakan seni rupa kontemporer Indonesia. Dikotomi naif macam itu, masihkah diperlukan? Bahkan mengulik perbedaan mazhab (masihkah ada?) antara Jogja-Bandung pun telah tiada relevan lagi. Mengenai seni rupa; hal utama yang harus diperhatikan adalah bukan rupa si perupanya melainkan soalan rupa karya alias visualnya. Selain itu, tidak boleh dilupakan, seberapa cerdas tampilan rupa tersebut di-re/presentasikan. Dan benar, salah satu—bukan satu-satunya—cara menjadi cerdas adalah dengan membaca.

Membaca dan minat baca (buku/literatur) sering salah dimengerti sebagai satu-satunya ukuran untuk menentukan kecerdasan seseorang. Ia (membaca buku itu) sekadar alat yang tidak serta-merta menunjukkan hasil. Ada begitu banyak metodologi yang bisa dipilih demi menjadi cerdas. Membaca realitas adalah salah satu yang lainnya. Kecerdasan dalam seni rupa dapat dikenali dari karya seni rupa yang bersangkutan. Menjadi keren atau tidak cuma masalah penamaan. Karena sesungguhnya ukuran sebuah karya seni hanyalah baik atau buruk. Sederhana, itu saja.

Namun tentu bukan hal sederhana agar dapat menciptakan karya seni yang baik. Diperlukan berbagai kaidah dan instrumen yang harus dipelajari dan dikerjakan sebelumnya. Itu pun masih akan dipengaruhi oleh ruang, waktu, dan hal lain yang melingkupinya. Pendeknya butuh menjadi seniman yang baik agar dapat menghasilkan karya yang baik. Seniman terbaik hasilnya terbaik juga, yang cerdas menghasilkan karya cerdas, begitu seterusnya.

Agar lebih mudah dipahami. Berikut di bawah ini sebuah contoh. Seorang calon seniman memilih kuliah di ISI Yogyakarta. Tentang dari mana ia berasal, anak petani atau bukan, orang kota atau desa, kita kesampingkan dahulu. Selanjutnya sebagai mahasiswa ia harus menaati hal-ikhwal belajar-mengajar di kampusnya hingga ia dinyatakan lulus. Soal ia memilih tidak lulus atau bahkan dikeluarkan, itu soal yang berbeda. Apa pun itu, maka ia mendapatkan pelajaran berkesenian sebagaimana yang diajarkan di kampus tersebut. Ini adalah premis pertama.

Premis kedua. Karena ia tinggal di Jogja–tidak mungkin mahasiswa ISI Yogyakarta menetap di Bandung dan atau kota besar Jakarta, namun bisa setiap hari masuk kuliah, kecuali ia mampu menyewa pesawat terbang atau helikopter setiap harinya—maka sosiologi, geografi, demografi, adat budaya, dan apa pun tentang Yogyakarta pasti memberi pengaruh terhadap sikap hidup dan berkeseniannya. Kecuali jika ia sengaja menutup diri dari pengaruh di luar dirinya. Maka (lagi) gaya berkesenian, kedalaman konsepnya, siapa rekan bertukar cakapnya, siapa idolanya, pameran apa yang ia saksikan dan seterusnya tentu terpengaruh (seberapa besar atau kecil, bukan masalahnya) oleh keyogyakartaannya.

Kedua premis tersebut berlaku universal, artinya silakan mengganti ISI d/h STSRI ASRI dengan ITB, pun dengan Yogyakarta diganti Bandung. Bahkan masih berlaku seandainya kita mengandaikan seorang calon seniman warga negara Palestina yang belajar di ISNY, Institut Seni New York misalnya. Tinggal aplikasikan saja.

Premis ketiga, terakhir. Adalah soal pilihan. Katakanlah contoh mahasiswa di atas, datang dari desa nun pelosok pedalaman. Ia boleh menjadi seniman agraris sebagaimana ia berasal, boleh juga menjadi kota nan keren, tapi artifisial sebagaimana yang ia inginkan. Sekadar informasi, perupa internasional Heri Dono lahir hingga lulus SMA di Jakarta, namun tetap memilih menjadi agraris nan eksotik. Lihat penampilan kesehariannya, lebih memilih meletakkan sebarang kain etnik di rambut gondrongnya daripada memakai topi modis seperti Asmudjo. Bersandal jepit lusuh daripada bersepatu mahal laksana seorang Aminudin TH Siregar. Jalan kaki atau naik sepeda ke mana-mana daripada naik ‘Inova’-nya Tisna Sanjaya. Meskipun demikian saya haqul-yakin, Heri Dono jika mau bersolek bisa berpenampilan bak metroseksual. Bila ia berkehendak, boleh jadi lebih tampan daripada bintang film Ferry Salim. Namun dia memilih agraris lahir batin. Artinya, penampilan karya seni rupanya sekalipun tetap bersuasana bahkan berdasar pemikiran/berkonsep malah berideologi yang agraris. Sekali lagi ini masalah pilihan.

Ketiga premis alias patokan duga tersebutlah yang paling menentukan kesenimanan seseorang. Bagaimana ia menempa diri dan seperti apa hasil tempaan itulah yang boleh dijadikan ukuran baik-buruknya. Menjadi keren atau bukan adalah tidak lebih dari penyebutan setara bonus. Dan lagi arti kata ”keren” yang saya temukan dari kamus dan tesaurus bahasa Indonesia adalah; tampak gagah dan tangkas, aksi, cogah, elegan, necis, perlente, rancak, solek, elok, menawan. Bahkan kata tersebut juga diartikan sebagai; galak, garang dan lekas marah. Dengan kata lain menjadi keren itu tidak alamiah, tidak natural alias artifisial atawa dibikin-bikin. Padahal katanya kesenian merupakan ungkapan ekspresi murni kejujuran.

Jujur, harus diakui situasi dan kecenderungan mbentoyong, yang diterjemahkan secara berlebihan sebagai terbungkuk- bungkuk memanggul beban estetik tertentu, adalah produk khas Jogja atau premis kedua di tulisan ini. So what? Secara berlebihan pula, saya bertanya, bagaimana mungkin dikatakan sebagai kesenian jika tidak memiliki muatan estetik sama sekali? Mbentoyong adalah pujian yang menunjukkan betapa telah bekerja kerasnya perupa Jogja demi tanggung jawab atas kelimpahan bobot estetik yang dimilikinya. Semoga tidak berlebihan; itulah “keren” yang bisa Anda saksikan dari karya visual anak-anak Jogja. Meskipun demikian sesungguhnya perupa Jogja tidak terbungkuk-bungkuk benar. Terbukti dalam keseharian kesenimanan Jogja jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, tak terbatas tua-muda. Jogja jauh lebih santai, rileks, ringan, dan lucu. Bandung terkesan terlalu tertib, terkendali, serius, dan selalu ingin terlihat cerdas. Jogja tak lagi ingin terlihat karena ia sudah jelas kelihatan.

Ah, kenapa saya jadi ikut-ikutan bermain banding-bandingan? Perbandingan menjadi akurat dan perlu manakala keduanya (obyek dibandingkan) memiliki ukuran yang pasti, setidaknya ada parameter yang sama dipakai kedua obyek tersebut. Disiplin seni bukan ilmu pasti, bahkan ia jauh lebih sosial daripada ilmu sosial. Dalam keriuhan pasar dan belum jelasnya parameter yang disepakati bersama ini, adalah tidak bijaksana memperbandingkan selanjutnya secara gegabah menilai hasil komparasi dipaksakan tersebut. Lebih parah lagi semua hal itu dilakukan oleh pemuda agraris yang silau dengan gemerlap kota dan kepincut untuk memikat dan atau menjadi bagian yang sesungguhnya artifisial belaka. Bahwa setiap lokal, lokasi, lokalis, lokus, dan lokalisasi punya sifat dan karakter tersendiri, namun mereka bukanlah bahan dasar untuk menempatkannya sebagai stereotype.

Nyatanya seorang Tisna Sanjaya yang orang Bandung tulen menggunakan jengkol, anyaman bambu, air, arang yang agraris dan dikemas alias “dibunyikan” dengan pendekatan agraris pula. Sebaliknya, Samuel Indratma yang pemuda asli Gombong kemudian kuliah tanpa pernah lulus di Jogja membuat mural (aktivitas seni yang sama sekali tidak agraris, justru sangat urban) di tembok-tembok kota. Menurut pengakuannya ia pernah membuat mural di San Francisco, Amerika Serikat sana.

Ada persoalan yang jauh lebih darurat di seni rupa, untuk apa buang energi memikirkan urusan remeh-temeh? Setiap ruang, setiap waktu pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak ada guna saling menghina, mari saling membina. Ayo bermain kritik bukan cerca. Lupakan dari mana kau berasal, bersama atau kepada siapa kau belajar, tak ada yang tak mungkin untuk dikejar, karena sesungguhnya seni itu universal.

Yuswantoro Adi, Pelukis tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, 18 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/

Tidak ada komentar: