Selasa, 04 Agustus 2009

Suplemen Pengetahuan Manajemen Seni di Perguruan Tinggi Seni Rupa

Written by Administrator
Thursday, 06 August 2009 00:35


Manajemen seni rupa bukanlah hal baru dalam duni seni rupa. Namun, bagaimana perguruan tinggi seni rupa di Indonesia menyikapi berkembangnya fenomena ini sebagai salah satu faktor pendukung profesionalitas sang perupa didikannya? A. Rikrik Kusmara mengulas masalah ini.

Sejak perkembangan awal perguruan tinggi seni rupa Indonesia pada 1970-an hingga 1990-an, sebutlah ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta dan Seni Rupa ITB, perguruan tinggi seni rupa mewacanakan dua kompetensi utama dalam tujuan khusus pendidikannya, yaitu mempersiapkan calon praktisi (seniman) dan sarjana seni yang menguasai bidang keilmuan seni. Sebuah paket yang diharapkan dapat memenuhi banyak kekosongan di berbagai wilayah seni budaya Indonesia, baik mengembangkan kemandirian kreatif (seniman) dan entrepreneurship (istilah yang kini dikenal sebagai industri kreatif) maupun bidang keilmuan seni dan kelembagaan seni.

Dengan berbagai pembatasan pendanaan perguruan tinggi seni rupa oleh pemerintah pada dua dekade tersebut --yang berdampak terbatasnya sarana untuk mengoptimalkan kualitas lulusannya-- jika dicermati, pendekatan mencetak lulusan seniman-sarjana memang cukup efektif untuk mengisi kebutuhan masyarakat pada bidang seni rupa secara umum. Namun orientasi perguruan tinggi itu tidak cukup agresif dalam mengembangkan atau mendorong secara signifikan pengembangan sub-sub keilmuan yang lebih spesifik jika dikaitkan dengan perkembangan lingkup profesi seni rupa di masyarakat. Katakanlah, di era 1980-1990-an, kompetensi profesi kurator, pengelola, dan pekerja lembaga seni yang dikembangkan para alumnus perguruan tinggi seni rupa secara alami di masyarakat lebih karena tuntutan lingkungan perkembangan infrastruktur dan medan sosial seni rupa.

Di perguruan tinggi seni rupa, wacana manajemen seni atau kemampuan dalam tata kelola bidang seni adalah bidang ilmu yang sejalan dengan kompleksitas perkembangan infrastruktur seni rupa dalam medan sosial seninya. Jika dicermati, perkembangan medan sosial seni rupa Indonesia sejak 1990-an banyak sekali memperlihatkan indikasi, mulai meningkatnya event seni rupa secara statistik, baik secara nasional maupun internasional, berkembangnya kelembagaan seni, baik pada lingkup swasta maupun pemerintah yang dipengaruhi kebijakan- kebijakan kultural nasional dan internasional, hingga perkembangan makro-mikro-ekonomi yang berpengaruh pada bidang seni. Indikasi-indikasi itu mulai mendorong para pengelola perguruan tinggi untuk mempetimbangkan lingkup pemahaman mengenai tata kelola (manajemen) kesenirupaan dan yang berkaitan dengan lingkup tersebut untuk dikembangkan menjadi satu mata kuliah khusus.

Atas dasar perkembangan wacana sosial-budaya itu, sebagai contoh di Program Studi Seni Rupa ITB kemudian dikembangkan satu mata kuliah manajemen seni yang diwajibkan bagi mahasiswanya sebagai antisipasi atas pengetahuan yang harus dimiliki lulusannya. Sejak awal tahun 2000-an, dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan tersebut, dan pada 2003 mata kuliah manajemen seni mulai diterapkan sebagai kompetensi pendukung (suplemen) dari kompetensi utama sebagai seniman-sarjana, dengan tujuan untuk memahami ruang lingkup dasar pengelolaan kegiatan kesenirupaan, baik untuk kepentingan kemandirian kesenimanan maupun dalam konteks lebih luas dalam lingkup organisasi dan kelembagaan kesenian. Diharapkan, bidang itu dapat mempertemukan kebutuhan dan perkembangan sosial-ekonomi serta budaya Indonesia dengan peran perguruan tinggi; istilah yang umum digunakan di lingkungan pendidikan sebagai link and match.

Manajemen seni sebagai mata kuliah suplemen tentu saja secara praktik berbeda dari keilmuan manajemen seni dalam konteks arts management yang berada di wilayah keilmuan manajemen. Dalam implementasi di ruang kuliah perguruan tinggi seni rupa dengan dua jam tatap muka untuk 14 kali pertemuan selama satu semester, pengetahuan ini menjadi cenderung bersifat informasi dasar dengan sedikit pengalaman praktik. Padahal, salah satu kunci pemahaman manajemen seni adalah pengalaman lapangan dan pengetahuan tentang jejaring yang kuat untuk mendukung strategi implementasi.

Penekanan manajemen seni yang diberikan di lingkup seni rupa ITB adalah pada pengetahuan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis dan infrastruktur lembaga atau organisasi seni, pengelolaan event seni rupa, jejaring kesenian, serta pengetahuan lebih mendalam tentang lingkup institusi galeri dan museum. Untuk melengkapi pengetahuan itu, mahasiswa diwajibkan meninjau salah satu bentuk organisasi kesenian dan melaporkan pandangannya atas mekanisme pengelolaan lembaga tersebut.

Berdasarkan evaluasi selama lima tahun implementasinya, mata kuliah tersebut cukup membantu mahasiswa dari sisi wawasan. Namun, dari kacamata yang lain, pengetahuan itu tidak menjawab langsung persoalan link and match serta persoalan lain yang lebih mendasar, yaitu bahwa kecepatan perkembangan infrastruktur seni tetap saja membutuhkan praktisi-praktisi pengelola seni yang setidaknya memahami teori, rencana implementasi, dan pengembangan program. Pada beberapa kasus, kita ketahui, proses itu umumnya dilakukan sekaligus oleh kurator, misalnya.

Pada 2008, setelah melalui evaluasi terhadap materi perkuliahan manajemen seni, dirasa perlu untuk mengembangkan lebih jauh pemahaman tentang manajeman seni tersebut ke wilayah praktik. Oleh sebab itu, sebagai suplemen lanjutan, dikembangkan mata kuliah publikasi seni sebagai mata kuliah yang menekankan pada aspek sosial dari seni yang sekaligus mengembangkan aspek praktik lapangan pengelolaan kegiatan seni melalui proses penyiapan kegiatan sebuah pameran. Pada kuliah ini, mahasiswa bekerja secara berkelompok mempraktikkan tata kelola kegiatan pameran, dari penyiapan organisasi, pembuatan proposal (programming, budgeting & funding), penyiapan materi event seperti paket pameran, publikasi, dan perizinan, hingga dokumentasi dan laporan.

sumber : http://www.visualartsmagazine.info/

Tidak ada komentar: