Senin, 22 Februari 2010

Biennale Anak #1 Yogyakarta: Kejutan Parade Karya Anak
oleh Satmoko Budi Santoso


Pengunjung Biennale Anak sedang menyaksikan tayangan video, Sabtu, 16 Januari 2010. (foto: satmoko)


BEGITU memasuki ruang pameran Biennale Anak #1 di Taman Budaya Yogyakarta sepanjang 15-22 Januari 2010, pengunjung bisa dengan leluasa mencermati hasil karya tertentu dari anak-anak yang tinggal dan bersekolah di seputar kota Yogyakarta. Ada aneka gambar, lukisan, foto, boneka, grafiti, dan yang lain. Boleh jadi kesan pertama yang muncul adalah stereotip. Capaian visual gambar yang dikedepankan rata-rata masihlah seputar gambar orang, pemandangan, dan obyek tertentu lain yang secara sosial sudah sangat diakrabi. Tentu saja, hal itu tidaklah salah. Memang, hal itu sejalan dengan visi Biennale anak yang bertema 'doKuMEnkU' ini. Jadilah ruang pamer itu pun menampung sejumlah 283 karya anak dari rentang usia 4-18 tahun.

Yang menarik, proses penjaringan peserta ini adalah dari workshop yang telah digelar pada bulan Oktober-November 2009 silam. Dengan kerangka bahwa mereka bebas mendokumentasi hal apa pun di seputar kota Yogyakarya yang menarik, maka sebagian besar pun mewujudkan hasil akhir karya di dalam pameran ini merupakan benang merah dari representasi pengalaman mereka atas keberadaan lingkungan sekitarnya.

Pius Sigit Kuncoro selaku salah satu panitia mengakui bahwa kecenderungan karya yang lahir masihlah 'gelap'. Menurut Sigit, hal ini masih berkaitan dengan kemungkinan problem yang mereka alami atau problem keluarga yang mengimbas pada karya.

"Bukankah anak kecil juga mempunyai problem? Punya aspek keprihatinan tertentu entah terhadap imbas pemberitaan koran dan yang lain? Secara keseluruhan, saya malah melihat aspek kurang ceria pada sejumlah karya anak tersebut begitu kuat. Sehingga ke depan saya berencana akan membenahi lagi pola rekrutmen peserta dengan kemungkinan besar memberlekakukan sistem eliminasi,' tutur Sigit.

Sementara itu, panitia yang lain, Eko Nuryono, menambahkan bahwa pada awalnya acara ini masih ada kaitannya dengan Biennale non-anak yang baru saja usai beberapa waktu yang lalu. Namun pada akhirnya memang seolah menjadi berjalan sendiri. Rupanya hal itu berdampak sampai pada soal pendanaan yang kemudian disiasati dengan cara meminta bantuan secara personal kepada pihak tertentu. Misalnya, anak-anak yang orang tuanya kebetulan perupa 'beken' maka bisa saja orang tua anak tersebut menyumbang. Soal apakah dana-dana itu menutup semua biaya yang dibutuhkan, menurut Eko nilainya tetap saja relatif.

Secara umum dalam hal gagasan memang sudah cukup baik. Namun begitu, dalam hal pengadaan acara rupanya perlu lebih dimatangkan soal arahan terhadap anak mengenai sisi yang elementer misalnya penguasaan bahan berkarya. Memang, dalam acara ini sudah cukup banyak lompatan yang berarti dalam konteks pengenalan bahan. Ada karya yang berbahan foto atau grafiti, misalnya. Namun, masih ada sisi yang tampaknya kurang misalnya dalam pengenalan perluasan bahan berkarya berupa tanah, bambu, besi, resin, dan yang lain yang merupakan aspek penting penopang penguasaan bahan berkarya. Karena bisa saja terjadi, sejumlah anak tidak begitu meminati jenis bahan tertentu yang dianggapnya sudah menjemukan misalnya kertas. Maka, barangkali saja ia ingin mencoba yang lain, sesuatu yang dianggapnya lebih eksploratif, seperti bambu, contohnya. Dengan kata lain, bisa jadi secara tidak sadar ia juga tertarik pada bentuk karya seni instalasi.

Tantangan mewujudkan idealisasi semacam itu rupanya masih belum cukup. Mempertajam peran pendamping workshop sehingga lebih bisa memberikan acuan arah estetika yang kompleks sehingga cenderung 'lebih tergarap' adalah juga penting. Artinya, betapa pun tema yang diberikan adalah cenderung bebas, namun secara target visual toh tetap bisa dilalui dengan cara kematangan diskusi, kematangan pemilihan bahan dan bentuk, kematangan arah pilihan obyek sehingga tidak dalam pengertian membebaskan berkarya begitu saja. Dengan kata lain, dalam hal aspek kuratorialnya juga perlu diperjelas meskipun acara ini 'hanyalah biennale anak'. Bukan berarti menyamakan atau menuntut anak dengan metodologi berkarya yang mirip orang dewasa, namun mengenalkan secara 'sama' arah metodologi yang ditempuh kaum perupa profesional semenjak dini pastilah akan bernilai lebih alternatif.

Meski begitu, dari gelaran ini bisa terbaca soal potensi karya anak yang sungguh mempunyai prospek. Setidaknya, dalam hal mengasah inisiatif, keberanian berekspresi, dan kepekaan terhadap lingkungan masih menjadi poin signifikan sebagai modal menjadi perupa atau seniman profesional. Mudah-mudahan dalam sesi melukis bersama perupa Djoko Pekik dan Nasirun kelak, anak-anak tersebut masih bisa mendapatkan kematangan orientasi berkarya dan estetika sehingga bakat yang ada bisa mengarah pada profesionalitas sikap berkesenian dan berekspresi. Bukan sekadar hobi semata. Begitu pula dengan adanya tambahan acara seminar pendidikan, talkshow, pameran buku anak, pentas seni, dan pemutaran sejumlah film anak sumbangan SET Production Garin Nugroho, diharapkan akan lebih memacu anak dalam iklim kreatif yang benar-benar produktif sehingga anak tidak tumbuh dalam ruang ilusi orang tua yang menginginkan dirinya jadi 'ini dan itu'.

Semoga saja setiap anak memang menjadi dirinya sendiri. ***


sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: