Senin, 22 Februari 2010

Lembaga Biennale Jogja Sudah Dekat
oleh Tim Indonesia Art News


Karya Eko Nugroho, salah satu perupa terdepan Indonesia asal Yogyakarta. Karya ini satu di antara ratusan karya dalam Biennale Jogja X yang brakhir 10 Januari 2010. (foto: kuss)


KEMUNGKINAN Biennale Jogja akan memiliki lembaga legal formal untuk menyangga aktivitasnya, kian dekat. Atmosfir ini mengemuka ketika para anggota Tim Formatur Lembaga Biennale Jogja (TF LBJ) mengadakan audiensi dengan para anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), D.I. Yogyakarta, Jumat siang, 15 Januari 2010.

Di ‘kubu’ TF LBJ ada Butet Kertaradjasa, Dyan Anggraini, Suwarno Wisetrotomo, Hari ‘Ong’ Wahyu, Anggi Minarni, Yustina ‘Neni’ Nugraheni, Titarubi, Kuss Indarto, Kusen Alipah Hadi, dan Kusworo Bayu Aji. Nindityo Adipurnomo absen karena sedang ke Belanda. Sementara dari Komisi D DPRD DIY ada Putut Wiryawan, Erwin Nizar, Nurjannah, Irianti Pramastuti, HM Anwar Hamid, Nanang Sri Rokhmadi, Edy Susila, Esti Wijayanti, Sukamta, Isti’anah, dan beberapa lainnya. Ada pula Joko Dwiyanto, Kepala Dinas Kebudayaan yang menjadi representasi eksekutif, selain Dyan Anggraini tentu saja, yang kebetulan juga sebagai Kepala Taman Budaya Yogyakarta.

Butet, Suwarno, dan Yustina Neni, mewakili TF LBJ, memaparkan latar belakang persoalan dan gagasan untuk membentuk lembaga biennale. Kurang lebih diutarakan bahwa Biennale Jogja kian banyak diperbincangkan. Kian banyak pula dikritik karena masih penuh kelemahan. Dan sekaligus digayuti berbagai pengharapan yang menggunung. Salah satu pengharapan itu, Biennale Jogja idealnya dikelola oleh sebuah lembaga legal formal yang jelas dan mapan secara hukum, bukan sekadar oleh kepanitiaan yang selalu ganti-ganti personal, konsep dasar organisasi, konsep administrasi, dan sebagainya. Keadaan ini sudah tidak sehat di tengah tuntutan profesionalisme kerja sebuah perhelatan kesenian. Apalagi Biennale Jogja telah dihasratkan untuk masuk dalam peta perbincangan internasional. Setidaknya di kawasan regional Asia Tenggara.

Nilai penting dari audiensi dengan DPRD, sudah barang pasti, meminta dukungan politis dan kebijakan yang bisa menggolkan gagasan tersebut. Bagi TF LBJ, kelembagaan formal ini terasa urgen untuk memotong ritus pola penyelenggaraan Biennale Jogja yang terasa ‘amatiran’. Dengan demikian, diharapkan DPRD bisa memfasilitasi rancangan kebijakan dan regulasi berikut kemungkinan anggaran yang memadai untuk perhelatan Biennale Jogja.

Sembari bercanda, pada bagian akhir paparan pembukanya, Butet ‘mengancam’, “Kalau Anda sekalian wakil rakyat tidak menanggapi dengan baik niat kami, ya kalian itu dagadu!” Atmosfer ruang itu jadi cair. Dagadu adalah umpatan penuh keakraban, berarti ‘matamu’, yang diambil dari bahasa prokem (bahasa walikan) ala Yogya.

Dewan merespons positif. Bahkan antusias. Sebagian besar anggota Komisi D justru seperti disadarkan bahwa Yogyakarta memang semestinya memiliki perhelatan seni yang bisa menguatkan citra kota ini sebagai ‘Kota Budaya’. Klaim Yogyakarta sebagai ‘Kota Budaya’ dianggap oleh mereka sebagai ironi karena kota ini belum punya perhelatan yang betul-betul bisa diandalkan untuk menguatkan pencitraan kota.

Bahkan, belum apa-apa, Erwin Nizar, yang berasal dari Partai Golkar, langsung menyebut angka untuk penyelenggaraan Biennale Jogja. “Ya, saya kira angka Rp 1 miliar pantas untuk Biennale Jogja.” Butet menganggap bahwa soal angka diserahkan sepenuhnya kepada DPRD untuk dibahas lebih lanjut. Yang penting ada kebijakan dan regulasi jelas untuk berdirinya lembaga Biennale Jogja. Erwin tentu punya alasan mengeluarkan statemen perihal angka-angka itu. Baginya, sangat mengherankan bahwa Kota Budaya semacam Yogyakarta hanya bisa membiayai acara dwi-tahunan itu sebesar Rp 100 juta. Itu pun masih dipotong PPn 15%. Ironis tentu saja.

Audiensi kian hangat. Perbincangan pun merambah-meluas. Dewan bahkan menantang agar FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) yang dianggap meredup terus popularitasnya (meski usianya telah 19 tahun) bisa pula dibenahi oleh TF LBJ. Tentu ini cukup membuat TF LBJ terhenyak. Namun audiensi pun kembali lebih memfokuskan pada proses pelahiran lembaga Biennale Jogja.

Pada bagian akhir pertemuan itu, ada rencana untuk membuat pertemuan lanjutan. Dan diharapkan sebelum awal April 2010 lembaga berikut proposal program kerja sudah terbantuk. Ini berkait dengan waktu pengesahan APBD yang akan di-ketokpalu-kan awal bulan April itu.

Tim Formatur LBJ optimis semuanya bisa berjalan lancar dan sesuai rencana. Kalau ini benar terjadi, maka lembaga ini kelak akan menjadi lembaga pertama bagi sebuah perhelatan bernama biennale seni rupa di Indonesia yang didukung oleh kebijakan legal formal oleh pemerintah. Mau tak mau, memang, pemerintah harus ambil bagian dalam konteks perkembangan dunia seni budaya di wilayahnya. Gwangju Biennale di Korea, Havana Biennale di Kuba, juga Bangladesh Biennale di negeri miskin Bangladesh, kiranya bisa menjadi contoh kasus untuk menguatkan niat memajukan Biennale Jogja. Kenapa tidak? ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: