Tropi dari Terapi Isur
oleh Kuss Indarto
Lukisan Therapy of Silence No. 7 karya Isur Suroso. (foto: isur suroso)
MINGGU malam, 24 Januari 2010. Di kota mungil Beppu, prefektur Oita, Jepang Selatan, nama Indonesia digaungkan dengan terhormat. Bukan oleh diplomat politik atau pejabat penting. Bukan pula oleh duta-duta yang berangkat ke sana atas biaya negara. Tapi oleh anak muda bernama Suroso atau yang karib dipanggil sahabat-sahabatnya sebagai Isur Suroso. Pemuda kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 1 Januari 1983 ini serasa menjadi “duta” dengan pencapaiannya meraih penghargaan The Asia Prize lewat karya lukisnya bertajuk Therapy of Silence No. 7. Ya, memang Isur menjadi “duta seni” yang sesungguhnya bagi Indonesia dengan raihannya itu di The Beppu Asia Biennale of Contemporary Art 2010.
Memang ini bukan prestasi puncak dalam kompetisi tersebut karena masih atas 2 kategori penghargaan di atasnya. Ada Grand Prize yang pada kesempatan ini dimenangi oleh Michiko Kinoshita (Jepang) lewat lukisannya, Flowery Sky. Lalu di bawahnya ada perupa Jepang lainnya, Sumie Kawasaki, yang meraih The Mayor of Beppu Prize lewat karyanya The Sky of the Two. Di samping Isur, juga ada 2 seniman Indonesia lainnya yang meraih capaian 10 Besar, yakni Hansen Thiam Sun (Excellence Prize), lewat karyanya Chill, dan Encouragement Prize dipersembahkan lewat karya War Of Opinion oleh perupa Teguh Wiyatno. Di deretan 80 Besar ada juga beberapa seniman Indonesia lainnya, yakni Dikdik Sayahdikumullah, Warsito, Dedy Prabowo, Faisal. Isur tentu saja akan meraih hadiah uang paling banyak ketimbang seniman Indonesia lainnya, yakni 1 juta Yen atau sekitar 100 juta rupiah.
Para seniman Indonesia yang masuk kategori 10 Besar dengan beberapa jenis penghargaan itu, yakni Isur, Hansen, dan Teguh Wiyatno, bertolak ke Jepang tanggal 22 Januari dan tinggal di sana selama 5 hari, hingga 27 Januari 2010. Semua tiket pesawat dan akomodasi dan lainnya ditanggung oleh panitia di Jepang. Rencananya, selama di Beppu, kota kecil yang tak jauh dari Fukuoka itu, mereka akan berkeliling ke beberapa lembaa seni setempat seperti museum, galeri, dan melakukan diskusi serta workshop dengan komunitas dan seniman setempat.
Dalam pengakuannya, Isur sebenarnya memang telah optimis akan mendapat tempat dalam kompetisi 2 tahunan tersebut. Dia mengirimkan karya Therapy of Silence No. 7 juga nyaris tanpa pretensi khusus. Artinya, karya itu tidak dirancang khusus untuk kompetisi internasional yang telah banyak dirubung para seniman Indonesia itu. Menurutnya, karya yang diikutkan itu malah gagal lolos kurasi untuk sebuah pameran drawing yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, beberapa bulan lalu. Dia tetap membawa optimisme tatkala mengirim karya tersebut ke Beppu. Namun pemuda yang masuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta tahun 2003 itu tetap terkejut kalau kemudian karyanya malah hingga meraih The Asia Prize. “Surprised betul!” tuturnya. Karyanya telah bisa bersaing secara kompetitif di tengah 715 karya pesainya yang berasal dari 44 negara. Dan ini melengkapi capaian sebelumnya setelah karyanya lolos seleksi dalam 2nd Bangkok Triennal International Print & Drawing 2009 yang diselenggarakan oleh Silpakorn University, Thailand.
Sebagai catatan “sejarah” kompetisi ini, sebelum Isur ada seniman Indonesia lainnya yang meraih pencapaian yang sama, yakni Nurkholis yang meraih The Asia Prize pada tahun 2005 lalu. Namun sejauh ini prestasi anak-anak Indonesia itu masih bisa disaingi oleh perupa negara tetangga. Misalnya, pada tahun 2003, seniman Teo Guan Poh dari Malaysia telah menembus penghargaan Grand Prize. Demikian juga dengan seniman Thailand, Chatchawan Rodklongtan, yang juga meraih Grand Prized tahun 2007. Apapun, pencapaian Isur memang pantas untuk dicatat. Karyanya yang menarasikan tentang terapi bagi orang-orang yang kesepian itu pantas untuk diperbincangkan lebih lanjut.
Akankah perupa Indonesia meraih Grand Prize itu kelak? Waktu yang akan bicara…***
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar