Biennale Jawa Timur III: Tawaran Tema yang 'Sexy'
oleh Herry Dim
Karya instalasi gubahan Agung 'Tato' Suryanto, salah satu karya yang digelar di Biennale Jawa Timur III/2009. (foto: kuss)
Segala hal jadi mungkin, segala hal berjalan, panorama seni kontemporer tampak warna-warni, demikian jika mengutip Klaus Honnef, "Contemporary Art" (Taschen, 1990, hal 221). Memang demikianlah adanya, seni (rupa) di Eropa, AS, Asia Pasific, Asia, dan tentu pula Indonesia; tak lagi sibuk dengan pilihan aliran (isme) dan/atau penggayaan. Diskusi atau pembicaraan seni tidak lagi berpatok kepada apakah suatu lukisan itu bergaya realis atau abstrak. Apapun bisa berjalan, anything goes, penggayaan atau aliran seni jadi semacam pakaian; tinggal pilih mana yang mau dipakai untuk suatu tujuan yang hendak diucapkan. Seni telah bergeser dari presentasi ke representasi.
Maka bisa saja ada seniman yang melakukan negasi dengan sangat radikal terhadap pencanggihan fotografi, kemolekan, fesyen dengan justru memilih kekotoran, kasar, jalang, berenergi protes, bahkan cara pandang jungkir balik, Neue Wilde; tapi pada ruang dan zaman yang sama, bisa juga ada seniman yang justru mengeksploitasi dimensi dan kemungkinan fotografis dengan teknik gambar yang seditel mungkin, Realisme Fotografis.
Dua pilihan jalan yang berseberangan secara ekstrem, itu kini bisa hadir bersama dan sama sah-nya di pelataran senirupa kini. Maka pertanyaan berikutnya; setelah seni tidak lagi berfokus kepada dunia teknis dan perdebatan arus gaya/isme, lantas ke manakah ia berjalan?
Jawaban yang umumnya terjadi di manapun, adalah pergeseran bahwa seni tidak lagi menjadi tujuan melainkan kembali menjadi alat. Intinya tidak lagi kepada gairah temuan/menemukan penggayaan terbaru (avant garde) melainkan kepada kemungkinan hendak 'berbicara' apakah dengan alat-alat yang tersedia itu. Dari kecenderungan ini pula maka kenduri-kenduri seni semisal biennale, triennale, atau semacamnya; lebih memusatkan perhatian kepada pilihan (katakanlah) tema ketimbang kepada mencari-cari penggayaan/temuan isme baru.
Konsekuensi logis dari pergeseran ini, maka (ruang lingkup) seni menjadi meluas; tidak lagi hanya bicara soal garis, warna, barik, bidang atau celoteh-celoteh "wah sangat ekspresif" atau "wah teknik gambarnya luar biasa, sampai bisa persis seperti kenyataan," dan semacamnya; melainkan meluas ke wilayah kemungkinan sosial, politik, ekonomi, bahkan agama. Maka, kenduri-kenduri seni atau senimannya pun menjadi kerap pula akrab dengan kegiatan sosial, ikut terlibat dalam sejumlah penelitian sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Singkatnya, data dan fakta sosial menjadi mengedepan dibanding dengan mencari-cari ilham, berkhayal atau berfantasi, pergi merenung ke puncak sepi untuk berkarya.
Basis data, fakta, dan penelitian sosial maka menjadi lazim pula mendasari setiap peristiwa seni. Ukuran keberhasilan suatu karya, tentu saja masih menjadi timbangan-timbangan; tapi ketajaman dan kedalaman analisa sosial para kurator kenduri seni bisa dikatakan menjadi penentu lainnya. Sebab kajian-kajian barunya itulah yang kemudian disampaikan kepada publik untuk diukur 'kemendesakannya' bagi kehidupan. Dua hal (pencapaian seni dan kecerlangan data, fakta, analisa kurator) itulah yang biasanya kemudian menentukan berhasil atau tidaknya suatu kenduri.
***
Biennale Jawa Timur III resminya dimulai dengan pembukaan di Galeri House of Sampoerna 11 Desember 2009, lantas diikuti oleh pembukaan di venue lainnya seperti di Galeri Orasis (12/12), Sozo Art Space (13/12), Galeri Surabaya (14/12), Seni Galeri kompleks AJBS (15/12).
Kala tulisan ini disusun, harus diakui berdasar kesan umum dari rangkaian karya yang hadir di Galeri Orasis dan Sozo Art Space saja. Berdasar penjelasan Agus Koecink selaku salah satu kurator saat pembukaan di Sozo Art Space, jumlah keseluruhan peseta terpilih utuk biennale adalah 112 seniman, masing-masing menampilkan 1 buah karya, dan mengusung tema "Mengurai Akar Budaya." Sementara Freddy H. Istanto selaku konsultan Biennale menjelaskan bahwa kenduri kali ini merupakan hasil kerja bersama antara pemerintah setempat, kalangan swasta, serta jejaring seniman Surabaya dan Jawa Timur.
Dari yang sempat tertengok di dua venue biennale, segera tampak bahwa segala hal jadi mungkin, segala hal berjalan, dan warna-warni penggayaan itu pun muncul sebagai panorama keseluruhan, dan penggayaan dengan teknik gambar fotografis bisa dikatakan dominan.
Adapun hal yang berkait dengan tema "Mengurai Akar Kebudayaan," umumnya tertangkap sebagai gerakan 'menjumput kembali tradisi' yang bahkan dengan pendekatan tradisionalis. Ini antara lain terungkap dari pernyataan Freddy H. Istanto seperti dilansir sejumlah media setempat. "Pameran ini sekaligus kesempatan bagi para seniman terutama anak-anak mudanya untuk dapat menemukan sendiri akar budaya lokal, sebuah kekuatan okal yang berbeda dengan lokalitas lainnya," demikian kata Freddy.
Tidaklah heran jika kemudian yang muncul di dalam perupaan adalah sejumlah pengulang-rupaan ornamentik dunia wayang, batik, serta rona tradisional lainnya. Itu, sama sekali tak salah dan barangkali mungkin juga di kemudian hari bisa menjadi semacam kekuatan bahasa visual kita (Jawa Timur khususnya), namun di balik gagasan tema "Mengurai Akar Kebudayaan" rasa-rasanya masih terbentang luas berbagai kemungkinan.
Mengurai di satu sisi bisa saja bermakna kritisisme yang artinya tidak sama dengan penggunaan tradisi sebagai ornamen, dan bahkan di balik kata tersebut terbuka pula kemungkinan-kemungkinan untuk menimbang ulang tradisi yang ada manakala berhadapan dengan isu-isu kontemporer.
Sementara ketika berbicara 'akar kebudayaan' sesungguhnya pula bukan sekadar dunia wayang, batik, dan semacamnya; sebab terbuka pula kemungkinan untuk dibaca sebagai akar permasalahan di sekeliling kehidupan kebudayaan yang berlangsung di Surabaya atau Jawa Timur pada umumnya. Di sana, seperti sejumlah perkembangan baru di dunia, tentu ada transformasi, perbenturan, dan munculnya kebudayaan-kebudayaan baru. Di sisi lainnya, akar kebudayaan pun sesungguhnya bisa dibaca sebagai kenyataan, pergeseran, bahkan perubahan yang bisa saja tiba-tiba terjadi baik oleh perkembangan sosial atau pun oleh bencana alam misalnya. Sebagai contoh yang amat jelas adalah peristiwa "lumpur Lapindo," itu adalah bencana sekaligus tempat terjadinya pergeseran kebudayaan yang terjadi sangat luar biasa. Tanpa maksud membandingkan secara naif, namun patut kita lihat bagaimana reaksi visual di dalam karya rupa atau pun tatanan lainnya di tengah seniman dan masyarakat Cina pasca-Tiananmen 1989. Demikian halnya kehadiran Baselitz, AR Penck dan lainnya di zaman tembok Berlin, dll. Itu sekadar gambaran teramat singkat saja tentang bagaimana 'akar budaya' itu dibaca.
Ini sekaligus sebagai cara untuk ikut melihat bahwa tawaran tatanan-kurator (curatorialship) untuk Biennale Jawa Timur III, itu sesungguhnya merupakan tawaran yang sexy alias menarik sejauh jika tidak dibaca dengan cara tradisionalisme dan apalagi terlalu diarahkan kepada kecenderungan politik identitas (jati diri). Sementara dengan melihat tenaga dan daya teknis sejumlah seniman (muda) Jawa Timur yang ikut di dalam biennale ini, rasa-rasanya masih tersimpan energi dan kemungkinan pencapaian yang lebih jauh lagi. Ini untuk mengatakan bahwa berdasarkan kesaksian karya-karya yang sempat terlihat, umumnya mengesankan karya-karya yang bukan saja dikerjakan dengan ketekunan yang prima tapi juga dimanifestasikan dengan kemampuan teknis yang memadai. Tapi, itulah soalnya, seni bukan sekadar perkara teknik.***
*) Penggiat Seni Budaya, tinggal di Bandung.
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar