Galeri Ingatan Musisi Dunia
oleh Satmoko Budi Santoso
Sailor John, 185x120x55 cm, fiberglass, string guitar, stainless steel, acrylic, 2009. Foto Dok Yayat Surya.
SEBUAH patung John Lennon tampak berdiri santai sembari memegang gitar kebanggaannya di samping tempatnya berdiri tersebut. Sosok John Lennon yang dibuat patung dengan judul Sailor John dengan bahan fiberglass, string guitar, stainless steel, dan acrylic itu telah menyergap perhatian pengunjung Galeri Srisasanti Art House Jakarta sepanjang 2 Desember hingga 20 Desember 2009. Patung tersebut hanyalah sebiji dari keseluruhan karya perupa Yogyakarta Yayat Surya dalam pameran yang dibingkai dengan nama Soundtrack. Masih ada puluhan lukisan dan jenis patung lainnya yang dipamerkan dari perupa yang teruji kualitasnya dengan jejak rekam pameran dalam skala dunia itu. Boleh dikata kesemua karya Yayat merupakan abstraksi dari penjelajahan estetik terhadap visualisasi sosok musisi dunia tertentu. Selain itu adalah upaya alternatif Yayat dalam memberikan makna terhadap persoalan seksualitas yang biasanya merupakan ikon representatif atas bagian hidup para musisi. Sosok-sosok seperti Marylin Manson, Patti Smith, Janis Joplin, dan musisi dunia lainnya bagi Yayat adalah sosok yang besar pengaruhnya baik dalam perkembangan musik maupun peradaban.
Kesadaran menempatkan sosok musisi kenamaan tingkat dunia di dalam objek kanvas dan patung Yayat bisa dimaknai sebagai langkah mendokumentasikan figur-figur yang merupakan most wanted di pelataran musik. Dalam terminologi tren pasar seni rupa, maka kreativitas seperti yang dipilih Yayat jika memakai bahasa kritikus seni rupa Wicaksono Adi adalah upaya atensi yang berkepentingan mengawetkan ingatan. Memang, bagi kritikus seni rupa Wicaksono Adi, siapa pun perupa yang sengaja menempatkan sosok tertentu sebagai fokus garapan karyanya, maka ia layak diklasifikasikan menghuni idealisasi penilaian berupa usaha mengawetkan ingatan. Tentu, dalam kasus karya lukisan dan patung Yayat kali ini yang menggelitik adalah memahami misi Yayat dalam mengawetkan ingatan atas tokoh musik tertentu. Rasanya tidak mungkin ia mewujudkannya jika tanpa misi tertentu yang bernilai spesifik.
Dalam konteks ini, posisi Anton Larenz sebagai kurator asal Jerman dan juga pengamat seni rupa Arief Bagus Prasetyo yang berposisi sebagai perumus atau juru bicara estetik atas karya Yayat, memang sudah cukup benar dalam memposisikan karya Yayat. Dalam sebuah esai di dalam katalog, Arief misalnya saja menyebut bahwa Yayat di antaranya telah melakukan upaya pencitraan ulang dalam bentuk karya seni atas dunia glamour musisi dunia. Meski begitu, saya sendiri sebagai apresiator sebagaimana umumnya penikmat seni lain lebih memilih memberikan porsi representatif atas karya Yayat sebagai langkah mengelaborasi secara visual kompleksitas kehidupan musisi dunia yang meliputi perjuangan terhadap idealisme, totalitas kerja keras, dan yang lain.
Hal itu terlihat khususnya dalam patung yang menggambarkan sosok penyanyi Kurt Cobain ketika bunuh diri dengan menusukkan gitarnya sendiri ke dalam perut. Atau pada visualisasi karya berjudul Cry for Freedom berupa patung alat kelamin laki-laki dalam posisi mengacung ke atas berbahan fiber, stainless steel, dan oven paint dengan warna pink menyolok bagaikan es krim berukuran besar yang rata-rata berkisar antara 67x20x25 cm hingga 130x30x85 cm. Sampai di sini, keinginan membuka ruang eksperimentasi terhadap aspek subversi visual juga menggelayuti tubuh karya-karya Yayat. Perspektif seksualitas di dalam karya-karya Yayat sepertinya juga merupakan bagian dari perjuangan atas pemberontakan superioritas gender yang masih mungkin timbul. Celakanya, kreatornya adalah laki-laki, jadinya malah berbalik, menjadi bernilai paradoks karena lebih bisa ditafsirkan sebagai upaya pengukuhan superioritas tersebut, bukan? Hmmm….
Namun, terlepas dari segala kemungkinan tafsir estetik yang dapat dioperasikan atas hadirnya karya Yayat kali ini, satu hal yang terpenting adalah mencermati laku kreatif Yayat dalam menghadirkan makna sosok penyanyi Barat lengkap dengan segala kegilaannya. Dalam kaitan itu Yayat seperti tak mau memberi jarak atas sosok orang yang digambar dengan perilakunya. Ia bahkan seperti terkesan mendekatkan kembali atas apa yang ia tafsir bersangkut paut dengan perjalanan hidup seseorang dan penikmatnya yang berada di luar kanvas atau patung.
Boleh jadi, peran karya seni memang bakalan selalu berada dalam fleksibilitas pencitraan. Soal citra itu mau dibuat bagaimana, terserah kepada yang membuat dan segmen publik yang bakalan dijangkau. Bagi saya, Yayat tetaplah seorang kreator yang mampu menggugah dan memainkan rasa gemas maupun penasaran orang-orang yang menggemari tokoh musik tertentu yang digambarnya. Sebab, Yayat tetap saja memprovokasi segmen tokoh musik tertentu tersebut dengan metafora yang mampu menjadikannya sebagai muara pelampiasan representatif atas kebutuhan media penampungan rasa kangen, kecewa, atau jenis histeria lainnya.
Dalam konteks itu pula, dialektika komunikasi nilai-nilai edukasi alternatif antara dunia Barat dan Timur pun menjadi misi sampiran Yayat melalui pameran yang mengedepankan asumsi kerangka pendekatan budaya pop ini. Tinggal kita sebagai masyarakat Timur menarik garis penegas soal nilai-nilai budaya Barat yang relevan diterapkan di sini. Tentu saja, bukan pada persoalan “perilaku menyimpang” atas perjalanan hidup sejumlah penyanyi legendaris tersebut, namun lebih pada esensi perjuangan yang mereka letupkan dan terpancar dalam sejumlah syair lagu, mulai dari soal isu universalitas cinta kasih, kemauan menuntut kesetaraan hak, perjuangan antirasialisme, dan yang lain.
Hadirnya hampir semua personil kelompok musik Slank pada pembukaan pameran ini rupanya cukup menandai bahwa dialektika komunikasi nilai-nilai edukasi alternatif tersebut justru benar-benar terjadi. Kita tahu, dalam sejumlah aspek, syair-syair musik Slank adalah juga merupakan perpanjangan penafsiran atas spirit perjuangan kesetaraan hak, antidiskriminasi gender, dan yang lain sesuai dengan banyak nilai yang diajarkan dalam syair lagu Barat yang merupakan buah tangan sejumlah musisi legendaris yang gambarnya dipamerkan oleh Yayat tersebut. ***
*) Pemerhati seni rupa. Tinggal di Yogyakarta
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar