Senin, 08 Februari 2010

Nasirun dalam Teropong Polemik
oleh Satmoko Budi Santoso

Nasirun, D. Zawawi Imron, dan moderator Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam sesi diskusi di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu malam, 30 Januari 2010. (foto: moko)
NASIRUN adalah Jawa Baru. Nasirun adalah sinkretisme Islam dan Jawa. Nasirun adalah muallaf seni rupa kontemporer....



Julukan-julukan semacam itu secara serta merta sering diberikan publik bagi sosok perupa Nasirun. Apakah semuanya benar? Apakah semuanya salah? Diskusi reguler di Bentara Budaya Yogyakarta yang mengupas karya-karya Nasirun pada 30 Januari 2010 silam adalah sebuah jembatan untuk mengurai apa yang sebenarnya melatarbelakangi proses kreatif Nasirun dalam berkarya selama ini. Kebetulan, tema diskusi yang diajukan adalah “seni karya Nasirun dalam perspektif sastra” dengan pembicara sastrawan D. Zawawi Imron dan dimoderatori Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Tentu saja, arah diskusi malam itu tidak ingin membenarkan atau menyalahkan julukan apa pun yang selama ini telah disandang Nasirun. Titik beratnya, selain pada masalah proses kreatif adalah pada apa pandangan publik terhadap karya Nasirun di luar “klaim-klaim” yang selama ini telah ada.

D Zamawi Imron, misalnya, lebih memandang Nasirun sebagaimana wayang, bukan dalang. Ia adalah perupa yang memposisikan diri sebagai wayang yang akhirnya menggambar berbagai dimensi nilai kehidupan melalui abstraksi visual atas dirinya sendiri. Upaya itu, bagi Zawawi, hanya bisa ditempuh oleh orang yang memang menguasai perspektif keindahan. Dan Nasirun adalah orang yang cukup mempunyai bekal soal perspektif keindahan tersebut. Setidaknya jika merunut studinya maka Nasirun adalah orang yang pernah mengenyam studi di bangku Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogya dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya jurusan seni lukis. Jadilah, modal perspektif keindahan sebagaimana yang disebut Zawawi itu semakin terfokus dalam arahan estetika yang berbasis studi formal.

Sementara itu, menurut Nasirun sendiri, ia tidak begitu peduli dengan julukan atau apa pun yang ia terima. Baginya, berkarya adalah sebuah cara beribadah, ia mencoba tetap selalu konsisten saja di jalur melukis. Memang, ia akui, basis budaya Jawa cukup menguat di dalam dirinya. Hal itulah yang secara sadar ia transformasikan dalam bentuk karya seni rupa. Apalagi, diam-diam, ia adalah orang yang memang cukup tekun mengamati pergeseran kebudayaan dalam masyarakat. Misalnya, dalam bentuk wadag ia suka mengamati soal budaya Jawa yang dalam dialektika keseharian bisa saja terkikis oleh pengaruh budaya global.

Di samping itu, dalam perspektif sejumlah pengunjung diskusi, misalnya, ada salah seorang penanggap yang memandang karya Nasirun cukup terpengaruh dengan budaya Jawa yang notabene adalah pinggiran. Asal mula keberadaan dirinya yang berdarah Cilacap tentu saja mempunyai akar budaya wayang yang berbeda dengan wilayah Jawa lainnya. Rupanya, hal ini pula yang cukup mempengaruhi visualisasi tentang karya-karyanya. Hal itu terlihat, contohnya, tentang idiom-idiom wong cilik dalam karya-karyanya yang merupakan cerminan pemahaman budaya wayang yang tertransformasi dari ranah pinggiran.

Diskusi perihal proses kreatif karya-karya Nasirun malam itu memang merupakan bagian cukup penting dari perjalanan panjang pameran tunggal “Salam Bekti” yang telah digelar di Sangkring Art Space Yogyakarta pada 28 September-12 Oktober 2009 lalu. Sebuah pameran yang didedikasikan Nasirun bagi almarhumah ibunya. Dan pada malam itu juga dibagikan katalog post event yang memuat sejumlah karya-karya Nasirun yang dipamerkan pada 2009 tersebut.

Pada penutupan acara malam itu, D Zawawi Imron pun mengakhiri diskusi dengan pembawaan sebuah puisi yang dihapalnya luar kepala. Puisi tersebut bertajuk ”Ibu” yang diciptakannya pada 1966. Berisi di antaranya.... ibu adalah gua pertapaanku/ Dan ibulah yang meletakkan aku di sini/ Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang/ Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/ Aku mengangguk meskipun kurang mengerti/Bila kasihmu ibarat samudra/ Sempit lautan teduh/ Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/ Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/Lokan lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku/Kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/Namamu ibu yang kusebut paling dahulu/ Lantaran aku tahu/Engkau ibu dan aku anakmu....

Rupanya, di balik polemik-polemik apa pun yang mengitari perupa Nasirun, ada satu benang merah khusus yang juga bisa dimunculkan atas proses kreatifnya selama ini. Obsesi kerinduan Nasirun sebagai bentuk balas budi kepada orang tuanya adalah cukup besar. Itulah yang membuat dirinya terpacu mengaktualisasikan dalam bentuk karya seni rupa. Imaji visual yang mengarah pada kerinduan tersebut, dengan polesan metafor wayang dan kekhusyukan situasi peribadatan ala kultur Islam, tumpang tindih dalam kanvas-kanvas Nasirun. Membentuk muara dimensi nilai religiusitas dan humanisme yang terpancarkan begitu sublim... ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: