Senin, 22 Februari 2010

Rumah Seni Yaitu Tutup Usia
oleh Tim Indonesia Art News


Sosok pemilik dan pengelola almarhum Rumah Seni Yaitu, Semarang, Tubagus P. Svarajati. (foto: dok FKY 2007)


SALAH satu ruang seni di kota Semarang berjuluk Rumah Seni Yaitu (RSY), akhirnya tutup usia pada hari Rabu, 6 Januari 2010. Nafasnya terentang sepanjang 4 tahun 5 bulan. Kala itu, 19 Agustus 2005, Prof. Dr. I Made Bandem, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, meresmikan pembukaannya. Gedung baru di Kampung Jambe 274, Semarang itu menjadi ‘biang’ keriuhan.

Sementara ‘upacara’ penutupan ditengarai dengan perhelatan diskusi seni bersama pembicara tunggal Dadang Christanto, perupa internasional asal Tegal yang sepuluh tahun terakhir ini bermukim bersama keluarganya di Brisbane, Australia.

Penutupan RSY telah memancing cukup banyak perhatian. Media lokal sempat memberitakan ‘kematian’ itu. Dalam wawancara Indonesia Art News (IAN) dengan Tubagus P. Svarajati, pemilik dan pengelola RSY via e-mail, dijelaskan bahwa penutupan itu sudah dipikirkan masak-masak dan tidak berisiko sama sekali utuk dirinya. “Jika itu berdampak, terkategori apa pun, medan seni Semarang yang merasakannya. Fakta obyektifnya, kiprah RSY yang sekitar empat setengah tahun pasti berbekas” tuturnya.

Untuk menggali sedikit ihwal penutupan itu, berikut petikan wawancara lebih lanjut IAN dengan Tubagus P. Svarajati:

RSY sudah resmi Anda tutup. Hal kuat apa yang mendasari penutupan itu?

Saya sudah bosan. RSY sudah tidak menantang kreativitas saya lagi terkait dengan realitas politik kesenian di Semarang.

Dalam penilaian subyektif Anda, apa pencapaian bahkan prestasi yang pernah dilakukan RSY bagi publik seni di Semarang?

Menyediakan ruang sebagai arena pertemuan gagasan dan praktik seni. Memberikan pendidikan seni lebih informatif-mendalam kepada publik. Mendorong tumbuhnya apresian muda terhadap kesenian secara umum, khususnya kesenirupaan. Barangkali juga mempercepat kelahiran seni rupawan muda dan calon seniman.

Apakah konsep dasar atau ‘ideologi’ ruang seni Anda sudah satu rel dengan realitas yang terjadi kemudian?

Secara umum, ya. Lima tahun terakhir mulai tumbuh komunitas (atau audiens) pecinta seni (atau apresian) muda usia yang tampaknya menikmati keragaman peristiwa seni dengan riang gembira. Sekarang, pada pembukaan suatu pameran seni rupa, misalnya, kehadiran anak-anak muda lintas disiplin adalah pemandangan jamak. Potensi ini harus dikelola dengan baik oleh pemangku kepentingan.

Ada 3 hal penting yang kiranya bisa menguatkan posisi sebuah ruang seni, yakni: pendanaan, jejaring kerja, dan kepemilikan atas massa. Apa itu sudah terbentuk, bahkan dengan kuat, pada diri RSY?

Secara relatif, ya. Buktinya, setiap kegiatan di sana berjalan dengan baik dan memang berdasarkan tiga hal tersebut.

Ada rumour bahwa RSY belum kuat pada tiga hal di atas, namun sudah ‘berusaha’ menciptakan musuh? Kalau betul, apa yang mendasari? Kalau salah, bisakah Anda lakukan klarifikasi?

Biarlah rumor tetap bergema agar selalu ada perbincangan yang bisa dihadirkan.

Bagaimana pola pendekatan atau upaya akomodasi dengan kepentingan seniman di lokal Semarang? Apakah RSY ingin menerapkan pola yang diidealisasikan (versi RSY) lalu diterapkan ke seniman di Semarang, atau kebutuhan seniman Semarang Anda serap lalu diketengahkan dengan program yang dibuat RSY? Dimanakah problem keberjarakan terjadi?

Tak ada pola khusus untuk semua jenis kegiatan atau seniman, lokal maupun regional. Semua didekati secara spesifik. Artinya, terbuka banyak kesempatan bagi siapa saja bernegosiasi dengan RSY ketika itu. Pola ini rujukannya: demokratis dan egaliter.

Sebagai pribadi, Anda aktif sebagai pemilik ruang seni, organizer, lalu berposisi sebagai kurator, juga kritikus seni, tentu menjadi istimewa. Adakah konflik kepentingan yang Anda rasakan di situ?

Secara pribadi, ya tentu saya bilang tidak ada toh. Perhatikan dengan saksama, kritisi dan temukan hal mana saja yang tumpang tindih itu; niscaya nihil.

Apa respons publik seni di Semarang atas posisi tersebut?

Faktanya, saya nyaris menjadi satu-satunya orang yang aktif menyuarakan kepentingan seni rupa Semarang dengan berbagai cara. Saya kira publik menyimak dengan saksama esai-esai saya dan menerima dengan baik kebenaran yang dituliskan. Jika sebaliknya, ya tak mengapa, toh rambut boleh sama hitam tapi isi batok kepala tak harus sewarna.

Di samping RSY, di Semarang telah ada Galeri Semarang, lalu juga galeri atau ruang seni yang lain yang bergulat bersama di jalur seni rupa. Apa sih titik beda RSY? Benarkah RSY mengambil jalur di lahan ‘kering’ karena (seolah) berjarak dengan pasar?

Bedanya yang jelas: RSY tidak cuma menyuguhkan seni lukis melainkan beragam kesenian dan wacana terkait lainnya. Asumsi segregasi (penjarakan) yang diuarkan bukan isu yang menarik untuk ditanggapi. Jelas-jelas yang disebut pasar itu bisa dibentuk dan direkayasa, dari selera sampai dengan kaidah lainnya. Juga, para pelaku di pasar seni, terutama para pembelinya, sangat mungkin mudah terkelabui dikarenakan kesenjangan informasi atau cita rasa estetiknya. Nah, RSY: dan saya tidak hendak membodohi mereka, malah sebaliknya: memberikan pencerahan.

Setelah 4 tahun berjibaku dengan RSY dengan segala dinamikanya, apa analisis Anda dalam melihat perkembangan proses kreatif dan kerangka berpikir seniman di Semarang dewasa ini?

Harus dilihat dari kacamata positif saja. Demikian ini: ada kemajuan. Namun kemajuan itu masih bisa dipercepat lagi.

Berkait dengan pertanyaan di atas, apa analisis Anda dalam mengamati hiruk-pikuk pasar seni rupa di Semarang dengan segala potensi dan kelemahannya?

Pasar seni Semarang belum terkategori hiruk-pikuk. Jika ingin pasar yang besar, kuat dan sehat, tak bisa lain mesti dilakukan pendidikan seni kepada publik (plus kolektor) secara lebih baik, mendasar, dan meluas.

Setelah RSY pensiun, Anda mau sibuk ngapain? Jadi kolektor seni? Ternak babi lagikah? Atau malah membuka asrama putri? Hahaha...

Saya telah tinggalkan kedua-duanya, kandang babi dan ruang kesenian itu. Menjadi kolektor seni? Ah tidak. Usulan membuka asrama putri patut dipertimbangkan serius. Jika terlaksana maka kelak orang akan mengenal saya sebagai bekas juragan babi yang pernah memiliki dan mengelola ruang kesenian, aktif sebagai tukang kritik seni rupa, dan Bapak Kos Putri Kampung Jambe (kelak). Komplit. ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/


Tidak ada komentar: