Garuda Layar Tiga
oleh Kurniawan Adi
Salah satu penggal pentunjukan wayang-video karya Nanang Hidayat di Biennale Jogja X yang lalu. (foto: kurniawan adi_
DALAM perhelatan akbar Biennale Jogja X yang berlangsung 11 Desember 2009 hingga 10 Januari 2010 lalu ada sangat banyak karya seni rupa yang bisa dilihat. Ada banyak yang dicatat, ada banyak pula yang terlewat. Untuk menambah catatan agar tak terlewat, tulisan ini akan meraba salah satu karya dengan pendekatan mata penonton pameran.
Salah satu karya yang bisa dilihat sebagai pengalaman tersendiri adalah video seni Mencari Telur Garuda (MTG) karya Nanang Hidayat atau yang mempopulerkan diri sebagai Nanang Garuda. Karya ini tidak hanya istimewa dari segi bentuknya, tetapi juga percobaannya untuk menghadirkan pengalaman baru menonton karya seni video. Sebagai salah satu acara dalam rangkaian Biennale Jogja X, video MTG diputar 27 Desember malam di gedung Sasana Ajiyasa, Jogja National Museum (JNM). Video dipancarkan dari tiga proyektor secara bersamaan dan ditayangkan pada tiga bentang layar yang dijejer kiri ke kanan dengan bingkai menyerupai layar wayang purwa. Layar wayang-video yang terbagi tiga inilah pokok yang hendak saya bahas di sini sebagai pembentuk pengalaman baru menonton video seni.
Sejalan dengan gagasan ini, maka yang diulas di dalam tulisan ini adalah segi bentuk bukan isi. Perkara tema, gagasan, dan pelajaran dalam karya yang berupaya menggambarkan proses perancangan Garuda Pancasila dengan tiga tokoh sentral Basuki Resobowo, Muhammad Yamin, dan Sultan Hamid II ini akan diabaikan dan perhatian diarahkan pada bentuk penayangan yang menggunakan tiga layar dan bentuk penceritaan yang mencangkok wayang. Bentuk layar dan bentuk penceritaan MTG menawarkan setidak-tidaknya tiga pengalaman langka. Ketiga pengalaman itu adalah (1) menonton tiga layar terpisah secara serentak; (2) menonton layar berbentuk sangat panjang; (3) menonton wayang-video dengan tiga layar terpisah. Saya akan membahas satu persatu.
Menonton tiga layar secara serentak sama dengan menampung aliran informasi dari tiga sumber. Beberapa adegan dalam MTG tidak menimbulkan masalah karena aliran informasi disusut menjadi sekedar perulangan gambar dari adegan yang sama, atau malah salinan yang sama dari satu gambar. Lebih ringan lagi beban perhatian penonton ketika berbagai gambar seobyek yang tayang secara serentak ini diikat dengan satu suara, entah itu kisahan dari penutur, musik, atau jawaban narasumber. Namun, ketika masing-masing gambar memiliki suara sendiri-sendiri, hasilnya adalah keriuhan suara, kepadatan gambar yang luar biasa, dan kekacauan perhatian. Dengan kata lain, aliran informasi tumpah meluber dari wadah perhatian yang terbatas. Entah sengaja atau tidak, luberan informasi ini terjadi pada bagian wawancara dengan masyarakat perihal asal usul lambang burung garuda.
Tantangan ini cukup disadari Nanang Hidayat sehingga di bagian awal ia tampak sangat hati-hati menggabungkan gambar, menghentikan dua layar lain sementara menjalankan satu layar, mengulang gambar yang berobyek sama, dan lain-lain. Dalam beberapa bagian, peluang dari kelimpahan layar ini berhasil dimanfaatkan, seperti untuk menerbangkan garuda dari satu layar ke layar lain, menggambarkan adegan jalan kaki yang menjadi sangat panjang, juga menghadirkan tiga narasumber secara serentak tapi menggilir kesempatan bicara. Di sisi lain, keadaan ini menghadirkan tantangan pula yakni bagaimana mendamaikan segi bentuk wadag layar dengan bentuk cerita. Sebagaimana kita tahu, bentuk layar berkaitan dengan bentuk cerita. Cerita di layar tivi yang kecil dan berdefinisi rendah lebih menonjolkan watak dan tokoh, tetapi kurang baik menampilkan latar belakang tempat, misalnya. Layar komputer yang interaktif baik untuk cerita singkat, karena perhatian pengguna komputer terbagi pada beberapa hal secara serentak. Dalam MTG layar panjang tiga bagian ini disiasati oleh Nanang Hidayat dengan menggunakan bentuk cerita wayang. Bagian ini akan dibahas di nomor tiga nanti.
Nomor dua adalah layar panjang itu sendiri. Layar panjang sudah mulai wajar digunakan untuk televisi, komputer, maupun telepon seluler. Namun layar dengan perbandingan kira-kira 1:3,5 seperti MTG ini tentulah jarang. Jika penonton berada pada jarak tertentu, hampir seluruh bidang pandangnya akan dipenuhi gambar layar. Gambaran-gambaran pinggiran yang tidak terlalu penting tetapi menambah rincian atau memperkaya gambaran utama bisa tampil serentak tanpa harus mencuri perhatian. Seperti dalam kenyataan, banyak sekali wilayah tepi bidang pandang yang memberi kepenuhan pengalaman sekalipun tidak menjadi pusat perhatian. Jika gambar yang keluar dari proyektor bisa setajam film analog, pastilah penonton akan menghadapi pemandangan yang luar biasa. Kemungkinan ini masih sangat luas bagi penjelajahan di masa depan.
Pengalaman ketiga bagi penonton adalah wayang-video dengan tiga layar terpisah. Tayangan ini bisa disebut sebagai wayang-video karena kisah wayang mendapat bagian utama, yakni tiga perempat dari keseluruhan video. Alasan kedua disebut wayang-video adalah karena wayang tidak dimainkan langsung oleh dalang yang hadir, tetapi direkam dalam video yang telah disunting. Wayang-video adalah siasat Nanang Hidayat untuk menundukkan bentuk layar yang sangat panjang ini, caranya dengan menerapkan bentuk cerita yang sudah lama dikenal masyarakat, yakni wayang. Wayang memang dikenal menggunakan layar panjang, tetapi sebenarnya bidang permainan dalang tidaklah terlalu panjang, hanya sebentangan dua lengan dalang. Nah, pilihan Nanang Hidayat ini menghasilkan tantangan baru. Tantangan ini saya namai tantangan kelisanan wayang.
Wayang bisa digolongkan sebagai bentuk seni lisan, yang mengandalkan tuturan suara pengisah. Oleh karena itu, orang lebih bisa mendengar ketimbang melihat wayang (ada wayang tanpa gambar di radio, tapi tidak ada wayang tanpa suara di televisi). Sifat pertunjukan ini ditunjang penyajian yang mengajak penonton lesehan di lantai. Duduk lama di lantai dan kelisanan wayang membentuk cara menonton tersendiri. Penonton sudah hapal bagian mana yang perlu dilihat (sebagian kecil saja, misal saat berkelahi/sabetan), juga hapal bagian yang tak perlu dilihat tapi perlu didengar. Mendengar wayang bisa dilakukan sambil mengobrol dengan orang lain, berbaring, mengudap, dan lain-lain. Nah di MTG, masalahnya adalah bahwa wayang ini wayang-video. Dalam wayang-video tidak ada dalang yang bisa memantau kebosanan penonton, mengatur irama permainan, dan menyuguhkan kebaruan. Wayang ini hanya mengalir terus karena ia hasil kerja listrik. Kedua, sungguh terlalu sayang kalau teknologi video hanya untuk merekam dan memutar wayang apa adanya. Nanang Hidayat berupaya memanfaatkan watak rekaman, yakni penyuntingan. Namun penyuntingan itu menimbulkan limpahan informasi yang memaksa penonton memberi perhatian besar terus-menerus. Padahal kebiasaan menonton wayang adalah kebiasaan bersantai.
Keadaan demikian saya jumpai sebelumnya juga yakni ketika MTG diputar sebagai film penutup Festival Film Pelajar Indonesia di IKJ dalam rangkaian FKI ke-6, 6-9 Oktober 2009. Penonton berniat menikmati tayangan ini seperti wayang, tetapi jalinan cerita dan penyuntingan video di tiga layar terlalu rumit. Padahal, kalau mau diberi perhatian sangat sungguh-sungguh, toh segala segi dari bentuk tayangan ini menyarankan penonton untuk menganggap bahwa ini “cuma” wayang!
Inilah pengalaman langka yang lahir dari karya seni yang punya peluang besar untuk menciptakan pengalaman baru, jika bentuk penceritaan yang dipilih mampu mendukung bentuk fisik penyajian. Percobaan ini saya pikir penting untuk dua orang, pembuat mendapat perluasan khasanah bentuk dan penonton menghayati pengalaman yang baru. ***
*) Peneliti penonton pada Rumah Sinema, Yogyakarta
sumber : http://indonesiaartnews.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar