Senin, 08 Februari 2010

Lawangwangi, Art Lovers Club di Bandung
oleh Argus Firmansah


Suasana saat acara pembukaan 'HALIMUN' di Jatiwangi Art and Science Estate, Bandung. (foto: argus)


BARANGKALI semua orang masih penasaran dengan kehadiran Lawangwangi Art & Science Estate di Bandung. Siapa dan apa itu Lawangwangi? Andonowati, kolektor sekaligus Direktur ARTSociates yang memimpin Lawangwangi menjawabnya dengan sebuah analogi sebagai berikut:

“ARTSociates itu bisa diibaratkan software-nya dan Lawangwangi adalah hardware-nya. Saya ingin estate ini menjadi sebuah klub dimana kolektor, art dealer, artist manager dan seniman dapat bertemu dengan nyaman dan komunikasi yang baik. Di Lawangwangi sendiri saya ingin menciptakan sebuah klub pecinta seni yang loyal,” kata Andonowati di lounge Lawangwangi, Bandung.

Lawangwangi bukan galeri seperti umumnya. Itu lebih tepat dikatakan sebuah sistem kapital untuk menopang perkembangan seni rupa Indonesia terkini. Estate yang dibangun di kawansan Dago Atas mendapat perhatian cukup signifikan dari kolektor dan art dealer di Jakarta bahkan Asia.

Sebuah pameran bersama bertajuk ‘HALIMUN’ yang melibatkan 50 perupa dari Bali, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, merupakan penguatan citra Lawangwangi Art & Science Estate bahwa klub para pecinta karya seni itu memiliki ruang displai di yang terletak di lantai dua. Lantai pertama adalah stock room karya seni dan lantai 3 adalah lounge, yaitu ruang pertemuan para kolektor, art dealer dengan para perupa untuk negosiasi atau perkenalan.

Rifky Effendy, kurator pameran inaugurasi di Lawangwangi, memberi beberapa catatan penting mengenai perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia saat ini tidak lepas dari momen booming seni rupa China yang berimbas ke Asia Tenggara, yaitu Indonesia sebagai alternatif pasar. Ia juga mengatakan bahwa situasi saat itu juga yang mendorong produktivitas perupa Indonesia untuk bersaing di tengah pasar seni rupa secara global.

Pameran 'HALIMUN' menyajikan beberapa hal penting dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Beberapa kelompok seniman seperti TAXU (Bali), rest-ART dan Abstra-X dari Bandung memunculkan paradigma seni kontemporer yang berupaya melepaskan patron seni rupa Bandung yang dilabeli seni rupa laboratorium Barat. Namun demikian kelompok perupa di atas, menurut Rifky Effendy, tengah eksis dengan eksplorasi tema dan persoalan sosial masyarakat yang mempengaruhi perupanya. Yaitu membidik budaya konsumsi global di masyarakat perkotaan serta unsur-unsur paradoks yang menjadi bahasa artistiknya.

Tidak hanya itu, seniman berpengaruh seperti Tisna Sanjaya juga ikut berpameran dengan gagasan artistik yang menjaga jarak dengan realitas sekitarnya. Perupa Bali yang tengah studi di ITB, I Wayan Sujana Suklu juga berpendapat demikian, bahwa persoalan bentuk tidak lagi menjadi diskursus penting saat ini. Teknik drawing di atas kanvas dengan gaya montage memberikan ruang pemaknaan yang bebas bagi apresiatornya.

Dalam situasi market yang bagi sebagian art dealer sedang dirasakan lesu dewasa ini, justru Lawangwangi muncul sebagai situs yang diharapkan dapat menjadi ruang apresiasi terhadap perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Mengapa Indonesia? Hal itu disadari benar oleh Sunaryo, maestro seni rupa Bandung, dengan mengatakan bahwa dengan hadirnya Lawangwangi perkembangan seni rupa dunia dengan resonansi internasional bisa bergema di sini.

Namun bagaimana konsistensi dari eksistensi sebuah art space memang membutuhkan modal material dan immaterial. “Kesinambungan galeri membutuhkan, tidak saja kerja keras, tetapi modal, cinta, pengetahuan dan dedikasi terhadap kemanusiaan,” kata Sunaryo.

Pada kesempatan itu juga Andonowati menyambut positif gagasan dari kolektor Syakieb Sungkar, kurator Jim Supangkat, atau pun Deborah Iskandar dan Carla Bianpoen (C-Arts magazine) untuk menyelenggarakan Indonesia Art Award di Lawangwangi. Dia lalu mengatakan bahwa program tersebut akan dilaksanakan pada dua tahun pertama kehadiran Lawangwangi di Indonesia. ***
*) Fotografer dan kurator, tinggal di Bandung.



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: