Senin, 08 Februari 2010

Imaji Sosial yang Telah Karib
oleh Satmoko Budi Santoso

Sosok penyanyi reggae (alm.) Mbah Surip dalam gubahan visual pelukis Rujiman. (foto: satmoko)

MBAH Surip kembali hidup dalam kanvas. Tentu, ini bukanlah mustahil. Ini terjadi dalam karya lukisan Rujiman yang bertajuk I Love You Full (cat minyak di atas kanvas, 200x200 cm, 2009). Entah apa maksudnya, imaji visual Rujiman menggiring pengunjung pameran dengan adanya sejumlah ikan yang keluar dari mulut Mbah Surip ketika tertawa. Sejumlah ikan yang keluar dari mulutnya tersebut salah satunya membentuk komposisi tulisan yang terbaca sebagai kata love.


Karya Rujiman tersebut merupakan salah satu karya dari puluhan karya perupa lain yang tergabung dalam komunitas dengan bingkai nama Persatuan Paguyuban dan digelar di Taman Budaya Yogyakarta, 26-31 Januari 2010. Tajuk pamerannya sendiri adalah Matahari. Menelusuri lebih jauh siapa saja yang terlibat di dalam pameran ini, maka pengunjung sepertinya memang hanya akan sedikit menemui nama-nama “yang bersinar” di jagad seni rupa kontemporer Indonesia terkini, meskipun karya-karya yang dipamerkan kali ini secara visual cukup tegas terbaca mengikuti arus fenomena “kontemporer”. Mulai dari penyiasatan imaji visual yang rata-rata merupakan pemindahan gambar yang secara sosial sudah menjadi kawan karib siapa pun, sampai pada kemasan visual dalam bentangan komposisi warna yang “ceria”, “ingar-bingar”, “segar-segar”, seakan-akan sadar diri mendudukkan karya tersebut tak sungkan jemput bola dengan pasar.

Tentu, itu semua wajar-wajar saja. Bagai memasuki ritus absen secara berkala, sejumlah perupa pun unjuk diri dengan karya-karya terbarunya. Yang unik, bagi saya adalah “kerangka tajuk pameran dan kuratorial” pameran ini yang terinspirasi lagu kelompok God Bless berjudul Menjilat Matahari. Apa yang ditulis sebagai “kerangka kuratorial” atau “catatan kaki” di dalam katalog pameran ini sepertinya justru meneguhkan bahwa sejumlah perupa yang terlibat memang “belumlah menjadi matahari”. Dengan kata lain, mereka sedang berada dalam taraf kematangan proses yang mungkin tak kunjung tahu kapan sampai pada titik kematangan itu. Perhatikan kutipan sebagian kalimat berikut ini: … siapa yang menjadi matahari? Apakah komunitasnya yang diharapkan menjadi matahari, yang mana para anggotanya sebagai planet dan bintang-bintang yang mengitarinya? Ataukah orang-orangnya yang akan menjadi matahari semuanya, atau satu, dua, tiga orang saja? Ataukah karya-karyanya yang akan menjadi matahari? Atau ada matahari yang lain yang sedang dinanti dan dirindukan bersama? Lalu siapa? ... Matahari adalah harapan…

Kata kunci perihal “harapan” pun telah tersemai. Oleh sebab itu kita menunggu imaji-imaji visual Sri Pramono, Si Nik, Sidiq Kurniawan, Yayat Lesmana, Yuli Kodo, Budiyonaf, Slamet Sugiono, Gunawan, Lulus Santosa, Agung Gunawan, Ali Taufan, Felix S. Wanto, dan lainnya, bakalan semakin “mengunci” komentar banyak orang bahwa pertaruhan teknik dan skill menggambar mereka yang cukup baik memang diimbangi dengan respons pasar dan publisitas yang setimpal.

Sungguh, perjuangan mencapai posisi “menjadi matahari” adalah membutuhkan waktu tak pendek. Secara umum, bahkan saya menjumpai, alangkah sayang jika sejumlah perupa yang kali ini berpameran seperti jauh dari penemuan karakter visual yang kuat. Kebanyakan masih terimbas pada acuan karya-karya yang telah menjadi “legenda pasar” seperti karya Djoko Pekik, bahkan ada yang secara idiom visual justru memilih mengakrabi obyek yang telah menjadi “karakter visual orang lain” seperti babi, misalnya. Lagi-lagi, pastilah hal semacam itu tidaklah salah. Hanya saja, kalau boleh memberi masukan, apakah tidak lebih baik karya yang “mengekor” itu tampil lebih menggugah atau dengan kata lain “bisa mengalahkan yang terdahulu”?

Inilah saya kira titik krusial persoalan seni rupa kita hari ini: betapa “keseragaman selera visual” atau “obsesi visual atas kemauan selera pasar” adalah hal laten yang sulit dihindari sejumlah perupa. Bahkan itu cukup mendarah daging sebagai dilema proses kreatif. Anehnya, atas rabaan fenomena tersebut, belum tertemukan adanya variabel solusi yang bisa membebaskan perupa dalam sangkar kesan “gagasan visual yang sejalur” tersebut. Kenapakah hal itu senantiasa berulang dan berulang? Tidakkah ada idiom atau imaji visual lain yang relatif lebih otentik digali? Jika secara skill sebenarnya boleh dikatakan sama, bukankah dengan pencarian imaji visual yang otentik bakalan lebih menambah bobot karakter dan kualitas karya yang dihasilkan?

Kita tunggu saja apa yang bakalan terjadi kelak dengan komunitas Persatuan Paguyuban ini. Di tengah tantangan kreatif mewujudkan karya dari kompleksitas kelaziman media, mestinya seniman justru lebih terbuka untuk menemukan dengan cepat ruang-ruang alternatif penggalian gagasan otentisitas karakter karyanya masing-masing…. ***




suber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: