Senin, 08 Februari 2010

Sisa Api dari G. Sidharta
oleh Tim Indonesia Art News


Salib Kemenangan, karya G. Sidharta tahun 2004. Karya berbahan perunggu ini berukuran 100x80x30 cm. (foto: kuss)


GAJAH mati meninggalkan gading. G. Sidharta mati meninggalkan api. Ada dua ‘api’: api semangat dan inspirasi bagi para pematung atau perupa pada umumnya, dan API, Asosiasi Pematung Indonesia. Ya, sosok Gregorius Sidharta Soegijo memang telah berpulang 4 November 2006 lalu. Dan kebesaran namanya kembali diteguhkan lewat peringatan 1.000 hari wafatnya tokoh seni patung Indonesia ini yang ditandai dengan perhelatan pameran retrospektif bertajuk kuratorial “Homage”. Rizki A. Zaelani bertindak sebagai kurator pameran. Puluhan karya patung, lukisan, juga grafisnya terpampang dalam pameran itu, yang berlangsung di gedung bekas kampus dimana G. Sidharta pernah studi, yakni Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta, 22 Januari hingga 5 Februari 2010. Dan dokumentasi audio visual juga ada di dalamnya, di satu ruang khusus yang cukup lapang.

Pameran ini seperti menghela ingatan publik untuk kembali merunuti capaian-capaian yang pernah memberi tengara atas perjalanan kreatif pematung yang hijrah tahun 1965 dari Yogyakarta ke Bandung untuk mengajar di kampus Fakultas Seni Rupa, ITB. Ada patung Garuda Pancasila (1966) dari tembaga berukuran 6x5x1,5 meter yang hingga kini masih gagah mengepakkan sayap di salah satu ruang penting di gedung DPR Pusat Jakarta. Ada relief “Proses Produksi“ (1963) yang tergelar di sisi depan gedung PT. Pabrik Kertas Blabak, Magelang. Ada pula karya patung pasangan Soekarno Hatta yang masih setia menjulang di Monumen Proklamasi (1979) di Jalan Proklamasi, Jakarta.

Di dekat gigir pantai pelabuhan peti kemas Tanjung Priok, sejak tahun 1980 publik juga disuguhi monument Tonggak Samudra yang berukuran 17x5x5 meter. Juga masyarakat sekitar pabrik Semen Gresik, Jawa Timur, bisa menyaksikan monument Tiga Simpul Produktivitas yang dibuat oleh G. Sidharta tahun 1994. Atau patung Soekarno yang tengah duduk berwibawa sembari memegang buku (2004, 220x200x130 cm) yang kini terpaku di gedung Perpustakaan Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Tentu masih banyak lagi karya monumental lainnya.

Tentu saja karya-karya monumen tersebut hanya berada dalam rekaman dokumentasi audio visual. Selebihnya, yang terpacak di sekujur ruang di lantai satu itu (bekas ruang kuliah Jurusan Disain Komunikasi Visual, FRSD ISI Yogya), adalah serentetan karya-karya patung dari beragam periode waktu dan kecenderungan. Pun ada lukisan yang menjadi koleksi pribadi dan keluarga. Semuanya bisa menjadi cermin kecil untuk memahkotai nama G. Sidharta sebagai pematung dengan nama besar.

Menilik capaian dan prestasi G. Sidharta inilah yang menimbulkan “kegusaran”. Setidaknya bisa terbaca dari komentar kolektor kawaka nasal Magelang, Oei Hong Djien. Dokter yang “terjerumus” jadi ahli pencium aroma tembakau ini menuliskan keheranannya dalam katalogus pameran. “Bersama But Mochtar dan Rita Widagdo ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sampai pensiun G. Sidharta tak diangkat menjadi guru besar padahal beberapa rekan dari generasinya telah menjadi professor. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena ia bukan alumni ITB namun alumni ASRI Jogja yang merupakan antagonis ITB pada awal sejarah kedua akademi seni rupa tersebut? Kita tahu bahwa di awal berdirinya Akademi Gambar di Bandung dan ASRI Yogyakarta ada ketegangan antara kedua institusi tersebut. Mereka saling kritik…”

Kemungkinan, Pak Dharta tak banyak mempersoalkan status ‘kegurubesaran’ yang tak mampir di pundaknya. Kemungkinan juga pihak ITB punya alasan ‘khusus’ sehingga tidak pernah menabalkan gelar terhormat itu pada pematung kelahiran Yogyakarta, 30 November 1932 itu. Semua telah menjadi rahasia (umum). Dan tanpa gelar itupun publik bisa memberi tanda atas keprofesoran G. Sidharta yang sesungguh-sungguhnya. Bukan sekadar embel-embel di depan nama.

Pameran ini menjadi menarik karena pada waktu yang bersamaan juga berlangsung pameran Retrospektif karya Empu Ageng Edhi Sunarso, di Jogja Gallery. Keduanya sama-sama berkarya dalam rentang yang bersamaan. Sama-sama senior. Sama-sama memberi pengaruh besar di awal perjalanan jagad sejarah seni patung di Indonesia. Sama-sama mendapatkan proyek besar dari pemerintah untuk membangun karya patung atau monumen di ruang publik, tentu dengan gradasi yang sedikit berlainan satu sama lain.

G. Sidharta -- tanpa maksud untuk membandingkan dengan seniman lain -- memiliki karakter yang kuat dalam melahirkan karya patung personalnya. Pada tahun-tahun terakhir, seiring dengan laju usia yang terus menua, seolah telah memberi imbas pada capaian karya yang mengedepankan aspek sedimentasi spiritualnya. Pada kurun ini, karya-karya patung yang bersubyek utama Jesus cukup dominan keluar dari tangannya. Jesus tak lahir dari penglihatannya atas sosok Jesus yang mainstream, namun dibaca kembali, diolah ulang, untuk kemudian muncul sosok-sosok Jesus dengan “rasa Jawa” yang terasa dekat dengan garis personalitas G. Sidharta. Inilah kekuatan imajinasinya dalam memotong jalinan pemahaman umum dan klasik atas sosok Jesus.

Telah lebih dari 3 tahun pematung peraih ASEAN Award for Culture 1990 ini berpulang. Warisannya bisa dimaknai dalam banyak hal, tentu saja. Termasuk lembaga API (Asosiasi Pematung Indonesia) yang dihasratkan sebagai organisasi profesi bagi para pematung. Terima kasih, Pak Dharta! Oya, API sudah bisa apa saja ya sekarang? ***




sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: