Senin, 22 Februari 2010

Obyek Mini di Ruang Lega
oleh Satmoko Budi Santoso


Sejumlah karya dalam pameran Klepto Domectic Object yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto, Kotabaru, Yogyakarta, 19-27 Januari 2010. (foto: satmoko)


JEJERAN sejumlah benda sebagai obyek minimalis terpajang saling berjauhan di kelapangan ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta sepanjang 19-27 Januari 2010. Karya sejumlah perupa yang tergabung dalam kelompok Makaryo dan dipamerkan dengan tajuk Klepto Domestic Object tersebut cukup menggelitik dinikmati sebagai obyek benda yang telah mengalami deformasi bentuk sedemikian rupa sehingga terkesan unik dan kreatif.

Perupa E Pandu Dewa W, misalnya, memilih mengedepankan karya yang langsung menggiring penikmat pameran pada tafsir tentang sebuah kompor gas dalam aktivitas rutinnya ketika digunakan menggoreng. Namun, di dalam penggorengan tersebut ternyata isinya adalah sejumlah anak-anak kecil yang sedang bermain-main bagaikan di kolam renang.

Karya sebagaimana disebutkan di atas secara tematik dan gagasan visual rupanya menjadi acuan bagi perupa lain yang tergabung di dalam kelompok Makaryo yang berbasis disiplin ilmu seni kriya ini, meskipun bahan yang digunakan adalah berbeda-beda. Misalnya saja, antara Budianto Yayas, Tofan Ari, Suji Mulyanto, D Panglipur, dan yang lain adalah berbeda-beda. Ada yang berbahan dasar tempat air berupa teko, besi, kayu, dan lainnya. Hanya saja, secara visual, kesemuanya seperti bermuara dalam keunikan ide yang hampir sama sebagaimana karya E Pandu Dewa W.

Diakui oleh kelompok Makaryo bahwa gagasan elementer di dalam pameran ini memang “mencuri” acuan bentuk benda yang ada dalam hidup sehari-hari. Istilah Klepto domestic object yang akhirnya menjadi judul pameran, adalah sebuah tanda bahwa secara sadar ide-ide yang ingin divisualkan adalah yang berbasis benda yang akrab dengan aktivitas sehari-hari. Obyek-obyek tersebut adalah obyek yang biasanya mendukung aktivitas setiap orang. “Keinginan kami tentu saja tidak sekadar mengambil gagasan dari bentuk yang sudah ada. Namun, tantangan terberatnya adalah justru menghadirkan kembali obyek benda keseharian tersebut dalam rupa transformatif sehingga nilainya tidak lagi biasa. Benda-benda yang notabene sepele, jarang terperhatikan secara serius oleh banyak orang seperti teko atau sekop misalnya, pastilah menantang dihadirkan dalam rupa transformatif yang lebih menggugah baik dalam hal kemasan bahan maupun kreasi bentuk yang akhirnya menjadi multi-interpretasi,” tutur Yayas, sembari menyebut bahwa ada karya berbasis bahan teko yang eksekusi terakhirnya menjadi amat unik karena teko itu dibuat terbalik, menjadi bentuk orang, di mana kepalanya adalah teko yang lebih kecil dan kakinya adalah tutup-tutup teko. Tentu kehadiran karya teko itu dipercantik dengan komposisi bentuk mata dan rambut yang dibuat secara improvisatoris.

Rupanya, kelompok Makaryo memang masih mempercayai kekuatan bahan, bentuk, dan keunikan gagasan di dalam capaian visualnya. Mereka tampak seperti tidak mempedulikan lagi soal ukuran yang tergolong kecil dan minimalis, bahkan dari jumlah karya pun juga tak harus banyak. Harap tahu karya yang ada di dalam pameran ini tak lebih dari sepuluh sehingga aspek kelapangan ruang pun seperti sebuah kesengajaan yang konseptual, menjadikan setiap karya minimalis tersebut justru menjadi lebih fokus dinikmati pengunjung pameran.

Meski begitu, ada sampiran tafsiran lain bahwa boleh jadi upaya capaian visual kelompok Makaryo memang sudah tidak lagi ingin dilihat dalam sudut pandang non-bentuk. Mereka hanya ingin menonjolkan bentuknya saja. Jadi, rumusannya adalah bagaimana bentuk karya yang mereka hadirkan bisa menguasai media/bahan yang digunakan, ruang, atau apa pun. Kekuatan kreasi adalah juga titik pijak yang teramat penting dinilai pendekatan dan kualitas kecerdasan aspek kebermain-mainannya.

Secara umum, saya merasa senang dengan adanya pameran semacam ini. Karena tak lagi berpretensi mengusung isu atau tema besar, apalagi membenturkannya dengan isu-isu wacana sosial dan politik terkini. Kita bagaikan menemukan oase alternatif di tengah hutan tanda keriuhan karya seni rupa yang lebih banyak menginduk pada isu-isu sosial dan politik terkini. Upaya keberjarakan perupa atas isu-isu yang sudah “umum” tersebut kiranya semakin penting dalam era sekarang, di mana pertaruhan karyanya kemudian adalah kembali pada sublimitas gagasan yang berujung pada maksimalisasi kecerdasan bentuk/visual.

Laku semacam ini barangkali saja tidak mudah. Banyak godaan yang bakalan menemani termasuk untuk terlibat dalam isu-isu aktual terkini namun sebenarnya problematis jika divisualisasikan itu. Problematisnya adalah karena biasanya para seniman justru mengalami pemiskinan ide dan capaian hasil akhir karya tersebab isu-isu aktual terkini yang direduksi sebenarnyalah jauh lebih dahsyat sugesti pesan sosial, moral, dan sejenisnya dibandingkan jika “hanya karya seni yang mengekor meresponsnya”. Jika seniman tidak dapat melampaui “keterkejutan” aspek sugesti pesan sosial, moral, dan sejenisnya itu, maka justru malah bakalan tenggelam, bukan?

Satu lagi yang patut dicatat dari pameran kelompok Makaryo ini adalah kesetiaan sejumlah perupa dari disiplin ilmu kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta untuk tidak terlalu ambisius masuk dalam ranah target pasar. Perhatikanlah secara seksama capaian sejumlah perupa berbasis disiplin ilmu kriya, biasanya mereka memang justru lebih asyik dengan mengulik kegelisahan kualitas estetika bentuk semata. Dengan kata lain, jarang ikut-ikutan sejumlah perupa lain dari disiplin non-kriya yang biasanya larut dalam ingar-bingar isu sosial atau apa pun terkini agar bisa membungkus ambisi personal supaya cepat diterima pasar. Bahkan ketika perupa Handiwirman, man of the year Tempo magazine 2004 itu membuka pameran ini, kesan yang muncul bukanlah mendekatkan karya yang dipamerkan kepada pasar, namun bagaimana Handiwirman sebagai perupa yang juga berbasis disiplin ilmu seni kriya ISI Yogya masih teringat dan mengayomi habitat kesejarahan proses kreatif yang tak bisa ia pungkiri. ***



sumber : http://indonesiaartnews.or.id/

Tidak ada komentar: